Senin, 30 Mei 2016

DAKWAH DI BIDANG BUDAYA

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Meninjau kembali unsur-unsur dakwah salah satunya adalah “media”. Media adalah alat untuk bagaimana sebuah dakwah dapat tersampaikan kepada mad’u dengan baik, tentunya media untuk menyampaikan dakwah sangatlah berakagam, selain menggunakan media masa atau komunikasi dakwah juga dapat disampaikan menggunakan media pendidikan, politik, dan kebudayaan tentunya.
Pada kesempatan kali ini kami akan membahas dakwah menggunakan media kebudayaan, bagaimana prosesnya, dan siapa saja yang telah berhasil berdakwah menggunakan media ini. Yang telah kami susun menjadi sebuah makalah “Dakwah di Bidang Budaya”.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertaian dakwah dan budaya?
2.      Bagaimana dakwah di bidang budaya?
3.      Bagaimana setrategi dakwah di bidang budaya?
4.      Siapa pelopor dakwah di bidang budaya?



C.    Tujuan
1.      Untuk menambah pengetahuan kami tentang dakwah di bidang budaya itu sendiri
2.      Memberikan cara-cara atau setrategi dakwah di bidan budaya.
3.      Menambah wawasan,dan pengetahuan tentang para ulama besar yang telah berhasil menyampaikan dakwah di bidang ini.
4.      Untuk kami diskusikan bersama-sama serta memenuhi tugas semester kami.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian dakwah dan budaya
a.1       pengertian dakwah
Ditinjau dari segi etimologi atau asal kata (bahasa), dakwah berasal dari bahasa Arab, yang berarti panggilan, ajakan, atau seruan. Dalam ilmu tata bahasa arab, kata dakwah berbentuk sebagai “isim mashdar”. Kata ini berasal dari fi’il (kata kerja) “da’a-yad’u”, artinya memanggil, mengajak atau menyeru.
Sedangkan menurut istilah mengandung beberapa arti yang beraneka ragam. Banyak ahli ilmu dakwah dalam memberikan pengertian atau definisi terhadap istilah dakwah terhadap beraneka ragam pendapat. Hal ini tergantung pada sudut pandang mereka di dalam memberikan pengertian tersebut. Sehingga antara definisi menurut ahli yang satu dengan yang lainyasenantiasa terdapat perbedaan dan kesamaa. Misalnya menurut Drs. Hamzah Yaqyb dalam bukunya “publisistik Islam” memberikan pengertian pengertian dakwah dalam islam ialah “mengajak umat manusia dengan hikmah kebijaksanaan untuk mengikuti petunjuk Allah dan Rasulnya”. Dan dalam Al-Qur’an surat An Nahl ayat 125 disebutkan bahwa dakwah adalah mengajak umat manusia ke jalan Allah dengan cara yang bijaksana, nasehat yang baik serta berdebat dengan cara yang baik pula.
Kedua pengertian dakwah tersebut, bila ditelaah sedetail mungkin terdapat beberapa kesamaan. Yang mana hal ini penulis berprasangka bawasanya Drs. Hamzah Yaqub kemungkinan dalam memberikan pengertian istilah dakwah bersetandar pada ayat Al-Qur’an tersebut, sehingga antara kedua definisi itu terdapat kesamaan.[1]
Menurut analisis kelompok kami pengertian dakwah yakni, proses bagaimana membuat islam menjadi sebuah kenyataan. Memproses menjadi nyata itulah dakwah.

a.2       pengertian budaya
Ditinjau dari sudut bahasa Indonesia, kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta “buddhayah”, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti budi atau akal.[2] Karena itu kebudayaan dimaknai sebagai sesuatu yang berkaitan dengan akal. Ada juga yang berpendapat bahwa kebudayaan berasal dari bentuk dasar budaya yang merupakan perkembangan dari istilah budi-daya yang berarti daya dari budi yang berupa cipta, rasa dan karsa. Pemahaman yang kedua ini menunjukkan bahwa kebudayaan merupakan bagian dari hasil cipta, rasa dan karsa manusia. Sedangkan kebudayaan secara istilah ada bermacam-macam pengertian, hal ini terjadi karena para pakar membahas pengertian kebudayaan disesuaikan dengan bidang ilmu yang mereka tekuni. Diantara pakar yang mendefinisikan kebudayaan adalah Koentjaraningrat yang melihat dari kaca mata ilmu antropologi. Kebudayaan, menurutnya, adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar.
Pemahaman terhadap kebudayaan tidak terlepas dari unsur-unsurnya yang meliputi : 1)bahasa, 2)sistem pengetahuan, 3)organisasi sosial, 4)sistem peralatan hidup, 5)sistem mata pencaharian hidup, 6)sistem agama dan 7)kesenian. Ketujuh unsur kebudayaan itu menjelma dalam tiga wujud kebudayaan yaitu nilai budaya, pola tindakan dan hasil karya. Dari ketiga wujud budaya tersebut nilai budaya merupakan tingkat paling tinggi dari adat istiadat. Hal ini disebabkan nilai budaya merupakan konsep mengenai apa yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar dari warga masyarakat tentang sesuatu yang dianggap paling penting dan berharga yang berfungsi sebagai pedoman kehidupan masyarakat tersebut.[3]
Sistem nilai budaya yang dipilih secara selektif oleh individu atau kelompok dalam suatu masyarakat akan menjadi pandangan hidup bagi individu atau kelompok dalam suatu masyarakat tersebut. Pandangan hidup yang ditetapkan sebagai pedoman hidup oleh sebagian besar kelompok masyarakat disebut ideologi, yang secara sadar dan terencana akan disebarluaskan agar menjadi pedoman hidup bagi seluruh kelompok masyarakat tersebut.

B.     Dakwah di bidang budaya
Memang dibanding lahan politik dan pendidikan, ladang dakwah dibidang kebudayaan masih kering. Masih banyak yang berpendapat kesenian dan kesusastraan hanyalah selingan. Akibatnya, kemajuan ini masih tersendat-sendat. Bisa dibilang dalam komunitas sastra, kita memerlukan 4 unsur yaitu, kritikus, teoritikus, creator (seniman), dan pendukungnya (pembaca). [4]
Akan tetapi berdakwah menggunakan di bidang budaya  ini pernah dilakukan oleh para Wali Sanga dalam penyebaran Islam di tanah Jawa yang sebelumnya memang kental akan nilai-nilai budaya Hindu dan Budha[5] (meskipun tentu ada ajaran-ajaran Islam yang tidak bisa dikompromikan seperti tata cara shalat). Para wali tidak berusaha secara frontal dalam menghadapi masyarakat setempat, tetapi ada strategi budaya yang dikembangkan agar Islam bukan merupakan sesuatu yang asing bagi masyarakat setempat, tetapi merupakan sesuatu yang akrab karena sarana, bahasa dan pendekatan yang dipakai merupakan hal-hal yang sudah dekat dengan mereka seperti selamatan, kenduri, mitoni dan sebagainya. Pendekatan-pendekatan yang inilah yang melahirkan banyak produk budaya dalam masyarakat, yang tentu saja mengandung ajaran-ajaran disamping seni dan hiburan yang dapat menyampaikan misi Islam yang rahmatan lil a‘alamin.
Selain para wali sanga beberapa group kesenian maupun kebudayaan di negeri ini juga nampak sekali peranannya dalam usaha penyebaran islam (amar ma’ruf nahi anil munkar), seperti group qosidah, dangdut, music band, sandiwara wayang kulit.dll
Seperti halnya Rhoma irama dengan berbagi macam lagu dangdutnya yang syairnya diambilkan dari ayat-ayat Al-quran dan hadits membawa prospek positif dikalangan umat islam. Ki Anom Suroto dengan wayang kulitnya, H,Fatholah Akbar dengan seni ludruk sari warninya mampu membawa missi dakwahnya menuju kelestarian dan pengembangan islam. Apalagi para artis dan seniman banyak menyandang gelar haji/hajjah menunjukkan betapa luasnya ajaran islam yang tak memandang ummatnya untuk bekerja dan beribadat kepada Tuhannya. Hal ini menurut pandangan sebagian orang hal itu meremehkan islam, yang karena profesinya sebagai penghibur masyarakat. Malahan dengan itulah Islam tidak membeda-mbedakan apakah itu ustadz, mubaliqh, penyanyi, bintang film dan sebagainya, bila mereka mengajak kejalan Allah tetap mereka patut untuk diberi pahala.
Anehnya dikalangan ummat islam-islam sendiri belum sadar akan usaha itu, karena mereka nampaknya belum bisa membedakan antara profesinya dengan usaha/ aktivitas dakwahnya. Sebagaimana yang sering dihebohkan dalam dunia pers, bahwa Rhoma Irama mengkomersilkan ayat-ayat Al-qur’an. Oleh karenanya saya menghimbau seluruh umat Islam, hendaknya berpegang teguh kepada Rasulullah saw “pandanglah (dengarkanlah) apa yang ikatakan, dan janganlah kamu memandang siapa (orangnya) yang mengatakan”. Alhasil dengan hadits tersebut, menyarankan untuk menerima segala dakwah orang yang bagaimanapun juga bentuk pekerjaanya sepanjang yang dikatakan itu mengandung hikmah bagi kita (ummat islam).[6]
Dalam pembahasan di atas kelompok kami menganalisa bahwa anjuran berdakwah rupanya telah di anjurkan kepada seorang muslim telah di jelaskan dalam alqur’an “Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar. Merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Al-Imran [3]: 104). Kiranya kita sebagai seorang da’I dapat menggunakan seni dan budaya sebagai perantara dakwah Islamiyah menyeru kepada kebajikan. Misalnya, seni dan sastra budaya dakwah melalui pewayangan. Tembang-tembang seperti tembang Pangkur (untuk memperoleh kesejahteraan hidup), tembang Dhandhanggula (tergambar makna-makna kehidupan), tembang Asmaranda,  tembang Pucung dan Ilir-ilir (mengajak untuk mempersiapkan bekal guna di hari akhir kelak), dan lain-lain. Melalui tembang-tembang tersebut kita dapat mengajarkan nilai-nilai yang islami yang baik untuk masyarakat.


C.    Strategi kebudayaan dakwah islam
Fokus kajian setrategis kebudayaan dakwah islam, pada hakikatnya memandang dakwah antarbudaya sebagai sebuah proses berpikirdan bertindak secara dialektis dengan segala unsur-unsur dakwah dan budaya yang melingkupinya, demi tujuan dakwah yakni, menciptakan sebuah masyarakat islam. Jadi, setrategi dakwah islam maupun dakwah antarbudaya, dipahami sebagai sebuah upaya aktif untuk menyatukan ide pikiran dan gerakan-gerakan dakwah dengan mempertimbangkan keragaman sosial budaya yang melekat pada masyarakat. Pertanyaan kemudian, bisakah tradisi budaya yang melekat dan dipeluk sejak lama mendorong proses dakwah islam?. Bisakah budaya-budaya tersebut dijadikan modal bagi proses peleburan nilai-nilai islam? Ini adalah suatu tantangan yang memerlukan pikiran bijak dan melihat sejarah serta kasus-kasus yang telah dialami belahan masyarakat islam.[7]
Dalam sejarah masuknya islam keindonesia, tepatnya di Samudra Pasai Aceh Utara. Islam masuk dengan jelas melalui adaptasi budaya local melalui para pedagang, baik disengaja maupun tidak melakukan penetrasi budaya islam terhadap masyarakat setempat. Melalui proses yang panjang, islam akhirnya diterima rakyat Aceh, bahkan menjadi sebuah kerajaan islam pertama di Nusantara, Rajanya adalah Marah Silu Sultan Malik Saleh (Raja yang saleh, cocok benar). Sampai sekarang, Aceh yang sekarang terkenal dengan sebutan Serambi Mekah itu menjadi pusat kominitas muslim.[8]
Setrategi mengenali budaya setempat merupakan enterpoint (titik pembuka) terhadap tindakan-tindakan dan kebijakan selanjutnya dalam proses nilai-nilai islam. Masih dari aceh bahwa konsultan pengusaha Belanda Cristian Snouck Hurgronye berhasil meluluhlantakkan masyarakat Aceh karena ketepatnnya membaca realitas budaya rakyat Aceh. Bahkan ia tak tanggung-tanggung ia menyamar sebagi muslim guna mecapai misinya menaklukan masyarakat Aceh. [9]
Dari data-data kecil di atas, menggambarkan bahwa proses tahapan dalam dakwah, apabila dakwah ingin berhasil adalah mesti dilakukan proses transformasi nilai-nilai budaya, baik dari dalam keluar maupun sebaliknya akan menerima suatu keterputusan dan keberlangsungan bergantungnya nilai-nili budaya baru.[10]
Bangasa Indonesia memeiliki aneka ragam budaya yang luas. Beberapa budaya yang dianggap sudah mapan, semisal Melayu, Minang, Sunda, Batak,dan Jawa. Berkaitan dengan Nasionalisme atau bangasa Indonesia bagi kita adalah hal yang baru karena Indonesia merdeka padatahun 1945. jadi Indonesia baru berumur 69 tahun. Islam sebagai agama baru sangat tepat dijadikan barometer dalam menyediakan rumusan-rumusan dan konsep budaya Nasional. Islam bias menjadi tawaran dalam proses pembangunan dengan tidak mengabaikan ataupun menerima khasanah budaya local. Prinsipnya sebagaimana tercakup dalam kaidah-kaidah yurisprudensi islam, yakni “memelihara yang lama-lama yang baik dan mengambil yang baru yang lebih baik.”
Dari penjelasan di atas kami menganalisis bahwa, strategi dakwah dalam budaya merupakan suatu perencanaan (planning) matang dan bijak tentang dakwah Islam secara rasional untuk mencapai tujuan Islam dengan mempertimbangkan budaya masyarakat, baik segi materi dakwah, metodologi maupun lingkungan tempat dakwah berlangsung. Dalam dakwah sebagai sebuah proses komunikasi, terutama dalam dakwah dalam budaya, akan menjadi efektif dalam proses penyampaian pesan dakwahnya apabila memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1.      Menghormati anggota budaya lain sebagai manusia
2.      Menghormati budaya lain sebagaimana apa adanya dan bukan sebagaimana yang kita kehendaki
3.      Menghormati hak anggota budaya yang lain untuk bertindak berbeda dari cara kita bertindak
4.      Da’i (sebagai pelaku dakwah) harus belajar menyenangi hidup bersama orang dari budaya yang lain.
5.      Mengenali tempat, situasi dan kondisi masyarakat.
6.      Membuat karya budaya sarat dakwah seperti wayang dakwah, cerita, dongeng, drama yang berisi pesan dakwah persuasif dan inklusif, design pakaian Islam yang modern dan syar’i.
Fungsi dakwah Islam dalam konteks budaya ada dua macam yaitu  pertama, menciptakan kondisi yang sesubur mungkin bagi kelanjutan sintesa budaya Islam yang di masa silam belum lagi sempat mencapai puncak kemekarannya. Kedua, memberikan makna dan format spiritual bagi proses kehidupan antar budaya kita yang berkiblat pada perkembangan menuju moderinitas.

D.    Pelopor dakwah di bidang budaya
Apakah kita semua tahu siyapa pelopor dakwah di bidang seni, sastra dan budaya? Khususnya di Pulau Jawa. Ya!.. tentu saja para walisongo adalah pelopor dakwah dengan seni, sastra dan budaya di Jawa. Walisongo adalah sejumlah guru besar atau ulama’ yang berjumlah sembilan yang diberi tugas untuk dakwah islamiyah di wilayah tertentu. Walisongo mencapai sukses besar dalam syiar Islam di tanah Jawa ini. Selain ahli dalam bidang keagamaan, Walisongo juga ahli dalam seni dan sastra budaya, khususnya sastra pesantren. Dalam penyebaran agama Islam Walisongo juga memasuki ranah-ranah seni dan budaya masyarakat. Mereka gemar dengan kebudayaan dan sastra daerah. Walisongo menciptakan syair-syair atau puisi dan tembang-tembang atau lagu dengan memasukkan ajaran Islam di dalamnya dalam berdakwah. Karya-karya beliau di bidang seni dan satra budaya antara lain:
1.      Maulana Malik Ibrahim atau Sunan Gresik
Beliau termasuk salah satu dari Walisongo yang menyiarkan agama Islam di Gresik. Setelah kerajaan Majapahit lenyap dari sejarah, munculah kerajaan Demak yang dipimpin oleh para Sultan yang didukung oleh para Wali, salah satunya ialah Maulana Malik Ibrahim. Beliau juga berpartisipasi dalam penyempurnaan bentuk dan lakon wayang agar tidak bertentangan dengan agama Islam.
2.      Maulana Makdum Ibrahim atau Sunan Bonang
Sunan Bonang termasuk Walisongo yang sukses dalam menyiarkan agama Islam. Beliau menggunakan seni dan budaya sebagai perantara dakwah Islamiyah. Diantara sumbangan beliau dalam seni dan sastra budaya adalah dakwah melalui pewayangan, menyempurnakan instrumen gamelan terutama bonang, kenong dan kempul, menciptakan tembang Macapat dan suluk Wujil. Di dalam suluk Wujil berisi tentang ilmu kesempurnaan hidup dan mistik.
3.      Syarifudin atau Sunan Drajat
Sunan Drajat menjadi juru bicara rakyat yang tertindas dan beliau mengecam elite politik yang hanya mengejar kekuasaan demi kepentingan pribadi. Beliau juga berdakwah melalui sastra budaya. Diantara karyanya adalah tembang Pangkur, yang menghendaki keselarasan jasmani rohani, dunia akhirat untuk memperoleh kesejahteraan hidup.
4.      Raden Mas Syahid atau Sunan Kalijaga
Sunan Kalijaga merupakan wali yang paling populer di mata orang Jawa. Di antara karya-karya beliau dalam berdakwah adalah tiang Masjid Demak yang terbuat dari tatal, gamelan Naga Wilanga, gamelan Guntur Madu, gamelan Nyai Sekati, gamelan Kyai Sekati, wayang kulit Purwa, baju takwa, kain balik, tembang Dhandhanggula dan syair-syair pesantren. Di dalam tembang Dhandhanggula tergambar makna-makna kehidupan.
5.      Jaka Samudra disebut juga dengan Raden Paku Atau Sunan Giri
Sunan Giri adalah murid dari Sunan Ampel. Selain berdakwah dengan sastra budaya, beliau juga mendirikan Pesantren Giri di Gresik. Karya-karya beliau diantaranya permainan Jetungan, Jemuran, Gula Ganti, Cublek-cublek Suweng, tembang Asmaranda, tembang Pucung dan Ilir-ilir yang sampai sekarang masih sering kita dengarkan. Tembang Ilir-ilir menyuruh kita untuk menggunakan kesempatan hidup di dunia untuk mempersiapkan bekal guna di hari akhir kelak.
6.      Jakfar Shadik atau sunan kudus
Sunan Kudus adalah salah satu Walisongo yang bertugas melakukan syiar Islam di sekitar daerah Kudus, Jawa Tengah. Dalam berdakwah beliau menciptakan karya sastra budaya berupa Tembang Maskumambang dan Tembang Mijil.
7.      Raden Umar Said atau Sunan Muria
Sunan Muria adalah putra Sunan Kalijaga. Beliau disebut Sunan Muria karena wilayah syiar Islamnya meliputi lingkungan Gunung Muria. Karya sastra budaya Sunan Muria sebagai dakwah antara lain Tembang Sinom dan Tembang Kinanti.

8.      Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati
Beliau merupakan peletak pondasi agama Islam di daerah Jawa Barat. Meskipun beliau tidak menciptakan karya sastra budaya, beliau turut aktif mendukung sastra dan budaya di kerajaan Demak. Karena Sultan Trenggono raja ketiga Demak mengawinkan adik putrinya, Putri Demak dengan Syarif Hidayatullah.
9.      Raden Rakhmat atau Sunan Ampel
Selain berpartisipasi dalam bidang sastra budaya sebagai media dakwah, beliau juga mendirikan sebiah pesantren di Ampeldenta Surabaya. Di pesantren inilah berkembang pesat dakwah meliau melalui sastra pesantren. Diantara sastra pesantren yang masih sering kita lantunkan adalah singiran Tombo Ati. Singiran Tombo Ati berisi tentang butir lima dalam kehidupan masyarakat sebagai obat gelisah.
Melalui tembang-tembang tersebut Walisongo mampu meraih hati dan jiwa masyarakat untuk mamahami serta melakukan ajaran-ajaran Islam. Walisongo tidak pernah memaksa dalam bersyiar Islam. Mereka berbaur kedalam masyarakat dan di tengah keakraban merekalah Walisongo memasukkan ajaran-ajaran Islam melalui sendi-sendi humaniora dan budaya masyarakat. Dalam Al-Qur'an surat An-Nahl ayat 125 dijelaskan: ”Serulah manusia kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran baik. Dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik...”
Kebudayaan jawa yang saat itu (sebelum Walisongo datang) bertentangan dengan Islam sebenarnya telah dibantah oleh Walisongo. Pembantahan Walisongo pada kebudayaan tersebut tidak serta merta mengecam dan menolak melainkan dengan cara halus dengan mengarahkan kebudayaan tersebut sedikit demi sedikit agar tidak bertentangan dengan Islam.[11]


BAB III
KESIMPULAN

Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahawa dakwah di bidang budaya belum terlalu kering dibandingkan dakwah dibidang lainnya, akan tetapi apabila dakwah di bidang budaya ini dikembangkan lagi dampaknya dimungkinkan akan lebih bagus lagi bagi kehidupan umat di dunia untuk menuju kejalan yang di ridhai Allah SWT, dan orang-orang di Negeri ini masih mementingkan siapa dan menggunakan apa orang itu menyampaikan kebaikan bukan apa isi dari yang disampaikan. Hal itu yang membuat dakwah dibidang ini masih terlalau kering.
Untuk berdakawah di bidang budaya inipun kita perlu memperhatikan setrategi yang layakanya jitu supaya dakwah yang kita sampaiakn dapat dengan mudah tersampaiakan, seperti yang telah dijelaskan di atas. Dan bila menengok kemasa lampau para ulama hebata(wali sanaga) telah dinobatakan sebagai pelopor dakwah dibidang budaya sesuai pembahasan diatas.



DAFTAR PUSTAKA

SyukurAsmuni.1983.Dasar-Dasar Setrategi Dakwah Islam.(Surabaya: Al Ikhlas)
Prastya Joko Tri. 2009. Ilmu Budaya Dasar.( Jakarat:Rineka Cipta)
Koentjaraningrat. 1986. Pengantar Ilmu Antropologi. (Jakarta:Aksara Baru)
Al-Malaky Ekky.2003. Penuntun remaja (Why Not?).(Bandung:Mizan, Bandung)
Simuh.1996.Sufisme Jawa, Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa.(Yogyakarta:Yayasan Bintang)
Abdullah Taufik.1987.Islam dan Masyarakat Pantulan Sejarah Indonesia.(Jakarta: LP3ES)
Aripudin Acep .2012.Dakwah Antarbudaya.(Bandung: PT Remaja Rosdakarya), Bandung, cet1
http://wachidskom.blogspot.com/2012/07/makalah-berdakwah-melalui-seni-dan.html, sabtu(04:46)



[1] Asmuni Syukur, Dasar-Dasar Setrategi Dakwah Islam, Al Ikhlas, Surabaya, 1983, hlm 17-19
[2] Joko Tri Prastya, Ilmu Budaya Dasar, Rineka Cipta, Jakarta, 2009, hlm28
[3] Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Aksara Baru, Jakarta, 1986, hlm. 180.
[4] Ekky Al-Malaky, Penuntun remaja (Why Not?), Mizan, Bandung, 2003, hlm 83
[5] Simuh, Sufisme Jawa, Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa, Yayasan Bintang, Yogyakarta, 1996, hlm,  6
[6] Ibid.,Asmuni Syukur,  hlm179-180
[7] Acep Aripudin, Dakwah Antarbudaya, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, cet 1, 2012, hlm 119-120
[8] Taufik Abdullah, Islam dan Masyarakat Pantulan Sejarah Indonesia, LP3ES, Jakarta, 1987, hlm 227
[9] Ibid
[10] Op.cit, hlm121

Tidak ada komentar:

Posting Komentar