BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Meninjau
kembali unsur-unsur dakwah salah satunya adalah “media”. Media adalah alat
untuk bagaimana sebuah dakwah dapat tersampaikan kepada mad’u dengan baik,
tentunya media untuk menyampaikan dakwah sangatlah berakagam, selain
menggunakan media masa atau komunikasi dakwah juga dapat disampaikan
menggunakan media pendidikan, politik, dan kebudayaan tentunya.
Pada
kesempatan kali ini kami akan membahas dakwah menggunakan media kebudayaan, bagaimana
prosesnya, dan siapa saja yang telah berhasil berdakwah menggunakan media ini.
Yang telah kami susun menjadi sebuah makalah “Dakwah di Bidang Budaya”.
B.
Rumusan Masalah
1. Apa pengertaian dakwah dan budaya?
2. Bagaimana dakwah di bidang budaya?
3. Bagaimana setrategi dakwah di bidang budaya?
4. Siapa pelopor dakwah di bidang budaya?
C.
Tujuan
1. Untuk menambah pengetahuan kami tentang
dakwah di bidang budaya itu sendiri
2. Memberikan cara-cara atau setrategi dakwah di
bidan budaya.
3. Menambah wawasan,dan pengetahuan tentang para
ulama besar yang telah berhasil menyampaikan dakwah di bidang ini.
4. Untuk kami diskusikan bersama-sama serta
memenuhi tugas semester kami.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian dakwah dan budaya
a.1 pengertian dakwah
Ditinjau
dari segi etimologi atau asal kata (bahasa), dakwah berasal dari bahasa Arab,
yang berarti panggilan, ajakan, atau seruan. Dalam ilmu tata bahasa arab, kata
dakwah berbentuk sebagai “isim mashdar”. Kata ini berasal dari fi’il (kata
kerja) “da’a-yad’u”, artinya memanggil, mengajak atau menyeru.
Sedangkan
menurut istilah mengandung beberapa arti yang beraneka ragam. Banyak ahli ilmu
dakwah dalam memberikan pengertian atau definisi terhadap istilah dakwah
terhadap beraneka ragam pendapat. Hal ini tergantung pada sudut pandang mereka
di dalam memberikan pengertian tersebut. Sehingga antara definisi menurut ahli
yang satu dengan yang lainyasenantiasa terdapat perbedaan dan kesamaa. Misalnya
menurut Drs. Hamzah Yaqyb dalam bukunya “publisistik Islam” memberikan
pengertian pengertian dakwah dalam islam ialah “mengajak umat manusia dengan
hikmah kebijaksanaan untuk mengikuti petunjuk Allah dan Rasulnya”. Dan dalam
Al-Qur’an surat An Nahl ayat 125 disebutkan bahwa dakwah adalah mengajak umat
manusia ke jalan Allah dengan cara yang bijaksana, nasehat yang baik serta
berdebat dengan cara yang baik pula.
Kedua
pengertian dakwah tersebut, bila ditelaah sedetail mungkin terdapat beberapa
kesamaan. Yang mana hal ini penulis berprasangka bawasanya Drs. Hamzah Yaqub kemungkinan
dalam memberikan pengertian istilah dakwah bersetandar pada ayat Al-Qur’an
tersebut, sehingga antara kedua definisi itu terdapat kesamaan.[1]
Menurut
analisis kelompok kami pengertian dakwah yakni, proses bagaimana membuat islam
menjadi sebuah kenyataan. Memproses menjadi nyata itulah dakwah.
a.2 pengertian budaya
Ditinjau
dari sudut bahasa Indonesia, kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta
“buddhayah”, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti budi atau akal.[2]
Karena itu kebudayaan dimaknai sebagai sesuatu yang berkaitan dengan akal. Ada
juga yang berpendapat bahwa kebudayaan berasal dari bentuk dasar budaya yang
merupakan perkembangan dari istilah budi-daya yang berarti daya dari budi yang
berupa cipta, rasa dan karsa. Pemahaman yang kedua ini menunjukkan bahwa
kebudayaan merupakan bagian dari hasil cipta, rasa dan karsa manusia. Sedangkan
kebudayaan secara istilah ada bermacam-macam pengertian, hal ini terjadi karena
para pakar membahas pengertian kebudayaan disesuaikan dengan bidang ilmu yang
mereka tekuni. Diantara pakar yang mendefinisikan kebudayaan adalah
Koentjaraningrat yang melihat dari kaca mata ilmu antropologi. Kebudayaan,
menurutnya, adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia
dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan
belajar.
Pemahaman terhadap kebudayaan tidak terlepas dari unsur-unsurnya
yang meliputi : 1)bahasa, 2)sistem pengetahuan, 3)organisasi sosial, 4)sistem
peralatan hidup, 5)sistem mata pencaharian hidup, 6)sistem agama dan 7)kesenian.
Ketujuh unsur kebudayaan itu menjelma dalam tiga wujud kebudayaan yaitu nilai
budaya, pola tindakan dan hasil karya. Dari ketiga wujud budaya tersebut nilai
budaya merupakan tingkat paling tinggi dari adat istiadat. Hal ini disebabkan
nilai budaya merupakan konsep mengenai apa yang hidup dalam alam pikiran
sebagian besar dari warga masyarakat tentang sesuatu yang dianggap paling
penting dan berharga yang berfungsi sebagai pedoman kehidupan masyarakat
tersebut.[3]
Sistem
nilai budaya yang dipilih secara selektif oleh individu atau kelompok dalam
suatu masyarakat akan menjadi pandangan hidup bagi individu atau kelompok dalam
suatu masyarakat tersebut. Pandangan hidup yang ditetapkan sebagai pedoman
hidup oleh sebagian besar kelompok masyarakat disebut ideologi, yang secara
sadar dan terencana akan disebarluaskan agar menjadi pedoman hidup bagi seluruh
kelompok masyarakat tersebut.
B.
Dakwah di bidang budaya
Memang
dibanding lahan politik dan pendidikan, ladang dakwah dibidang kebudayaan masih
kering. Masih banyak yang berpendapat kesenian dan kesusastraan hanyalah
selingan. Akibatnya, kemajuan ini masih tersendat-sendat. Bisa dibilang dalam
komunitas sastra, kita memerlukan 4 unsur yaitu, kritikus, teoritikus, creator
(seniman), dan pendukungnya (pembaca). [4]
Akan
tetapi berdakwah menggunakan di bidang budaya
ini pernah dilakukan oleh para Wali Sanga dalam penyebaran Islam di
tanah Jawa yang sebelumnya memang kental akan nilai-nilai budaya Hindu dan
Budha[5]
(meskipun tentu ada ajaran-ajaran Islam yang tidak bisa dikompromikan seperti
tata cara shalat). Para wali tidak berusaha secara frontal dalam menghadapi
masyarakat setempat, tetapi ada strategi budaya yang dikembangkan agar Islam
bukan merupakan sesuatu yang asing bagi masyarakat setempat, tetapi merupakan
sesuatu yang akrab karena sarana, bahasa dan pendekatan yang dipakai merupakan
hal-hal yang sudah dekat dengan mereka seperti selamatan, kenduri, mitoni dan
sebagainya. Pendekatan-pendekatan yang inilah yang melahirkan banyak produk
budaya dalam masyarakat, yang tentu saja mengandung ajaran-ajaran disamping
seni dan hiburan yang dapat menyampaikan misi Islam yang rahmatan lil a‘alamin.
Selain
para wali sanga beberapa group kesenian maupun kebudayaan di negeri ini juga nampak
sekali peranannya dalam usaha penyebaran islam (amar ma’ruf nahi anil munkar),
seperti group qosidah, dangdut, music band, sandiwara wayang kulit.dll
Seperti
halnya Rhoma irama dengan berbagi macam lagu dangdutnya yang syairnya diambilkan
dari ayat-ayat Al-quran dan hadits membawa prospek positif dikalangan umat
islam. Ki Anom Suroto dengan wayang kulitnya, H,Fatholah Akbar dengan seni
ludruk sari warninya mampu membawa missi dakwahnya menuju kelestarian dan
pengembangan islam. Apalagi para artis dan seniman banyak menyandang gelar
haji/hajjah menunjukkan betapa luasnya ajaran islam yang tak memandang ummatnya
untuk bekerja dan beribadat kepada Tuhannya. Hal ini menurut pandangan sebagian
orang hal itu meremehkan islam, yang karena profesinya sebagai penghibur masyarakat.
Malahan dengan itulah Islam tidak membeda-mbedakan apakah itu ustadz, mubaliqh,
penyanyi, bintang film dan sebagainya, bila mereka mengajak kejalan Allah tetap
mereka patut untuk diberi pahala.
Anehnya
dikalangan ummat islam-islam sendiri belum sadar akan usaha itu, karena mereka
nampaknya belum bisa membedakan antara profesinya dengan usaha/ aktivitas
dakwahnya. Sebagaimana yang sering dihebohkan dalam dunia pers, bahwa Rhoma Irama
mengkomersilkan ayat-ayat Al-qur’an. Oleh karenanya saya menghimbau seluruh
umat Islam, hendaknya berpegang teguh kepada Rasulullah saw “pandanglah (dengarkanlah) apa yang ikatakan,
dan janganlah kamu memandang siapa (orangnya) yang mengatakan”. Alhasil
dengan hadits tersebut, menyarankan untuk menerima segala dakwah orang yang
bagaimanapun juga bentuk pekerjaanya sepanjang yang dikatakan itu mengandung
hikmah bagi kita (ummat islam).[6]
Dalam pembahasan di atas kelompok kami
menganalisa bahwa anjuran berdakwah rupanya telah di anjurkan kepada seorang
muslim telah di jelaskan dalam alqur’an “Dan
hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan,
menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar. Merekalah
orang-orang yang beruntung.” (QS. Al-Imran [3]: 104). Kiranya kita sebagai seorang da’I
dapat menggunakan seni dan budaya sebagai perantara dakwah Islamiyah menyeru
kepada kebajikan. Misalnya, seni dan sastra budaya dakwah melalui pewayangan.
Tembang-tembang seperti tembang Pangkur (untuk memperoleh kesejahteraan hidup),
tembang Dhandhanggula (tergambar makna-makna kehidupan), tembang
Asmaranda, tembang Pucung dan Ilir-ilir
(mengajak untuk mempersiapkan bekal guna di hari akhir kelak), dan lain-lain. Melalui tembang-tembang
tersebut kita dapat mengajarkan nilai-nilai yang islami yang baik untuk
masyarakat.
C.
Strategi kebudayaan dakwah islam
Fokus
kajian setrategis kebudayaan dakwah islam, pada hakikatnya memandang dakwah
antarbudaya sebagai sebuah proses berpikirdan bertindak secara dialektis dengan
segala unsur-unsur dakwah dan budaya yang melingkupinya, demi tujuan dakwah
yakni, menciptakan sebuah masyarakat islam. Jadi, setrategi dakwah islam maupun
dakwah antarbudaya, dipahami sebagai sebuah upaya aktif untuk menyatukan ide
pikiran dan gerakan-gerakan dakwah dengan mempertimbangkan keragaman sosial
budaya yang melekat pada masyarakat. Pertanyaan kemudian, bisakah tradisi
budaya yang melekat dan dipeluk sejak lama mendorong proses dakwah islam?.
Bisakah budaya-budaya tersebut dijadikan modal bagi proses peleburan
nilai-nilai islam? Ini adalah suatu tantangan yang memerlukan pikiran bijak dan
melihat sejarah serta kasus-kasus yang telah dialami belahan masyarakat islam.[7]
Dalam
sejarah masuknya islam keindonesia, tepatnya di Samudra Pasai Aceh Utara. Islam
masuk dengan jelas melalui adaptasi budaya local melalui para pedagang, baik
disengaja maupun tidak melakukan penetrasi budaya islam terhadap masyarakat
setempat. Melalui proses yang panjang, islam akhirnya diterima rakyat Aceh,
bahkan menjadi sebuah kerajaan islam pertama di Nusantara, Rajanya adalah Marah
Silu Sultan Malik Saleh (Raja yang saleh, cocok benar). Sampai sekarang, Aceh
yang sekarang terkenal dengan sebutan Serambi Mekah itu menjadi pusat kominitas
muslim.[8]
Setrategi
mengenali budaya setempat merupakan enterpoint
(titik pembuka) terhadap tindakan-tindakan dan kebijakan selanjutnya dalam
proses nilai-nilai islam. Masih dari aceh bahwa konsultan pengusaha Belanda
Cristian Snouck Hurgronye berhasil meluluhlantakkan masyarakat Aceh karena
ketepatnnya membaca realitas budaya rakyat Aceh. Bahkan ia tak
tanggung-tanggung ia menyamar sebagi muslim guna mecapai misinya menaklukan
masyarakat Aceh. [9]
Dari
data-data kecil di atas, menggambarkan bahwa proses tahapan dalam dakwah,
apabila dakwah ingin berhasil adalah mesti dilakukan proses transformasi
nilai-nilai budaya, baik dari dalam keluar maupun sebaliknya akan menerima
suatu keterputusan dan keberlangsungan bergantungnya nilai-nili budaya baru.[10]
Bangasa
Indonesia memeiliki aneka ragam budaya yang luas. Beberapa budaya yang dianggap
sudah mapan, semisal Melayu, Minang, Sunda, Batak,dan Jawa. Berkaitan dengan
Nasionalisme atau bangasa Indonesia bagi kita adalah hal yang baru karena
Indonesia merdeka padatahun 1945. jadi Indonesia baru berumur 69 tahun. Islam
sebagai agama baru sangat tepat dijadikan barometer dalam menyediakan
rumusan-rumusan dan konsep budaya Nasional. Islam bias menjadi tawaran dalam
proses pembangunan dengan tidak mengabaikan ataupun menerima khasanah budaya
local. Prinsipnya sebagaimana tercakup dalam kaidah-kaidah yurisprudensi islam,
yakni “memelihara yang lama-lama yang
baik dan mengambil yang baru yang lebih baik.”
Dari penjelasan di atas kami
menganalisis bahwa, strategi dakwah dalam budaya merupakan suatu perencanaan (planning)
matang dan bijak tentang dakwah Islam secara rasional untuk mencapai tujuan
Islam dengan mempertimbangkan budaya masyarakat, baik segi materi dakwah,
metodologi maupun lingkungan tempat dakwah berlangsung. Dalam dakwah sebagai
sebuah proses komunikasi, terutama dalam dakwah dalam budaya, akan menjadi
efektif dalam proses penyampaian pesan dakwahnya apabila memperhatikan hal-hal
sebagai berikut:
1.
Menghormati
anggota budaya lain sebagai manusia
2.
Menghormati
budaya lain sebagaimana apa adanya dan bukan sebagaimana yang kita kehendaki
3.
Menghormati hak
anggota budaya yang lain untuk bertindak berbeda dari cara kita bertindak
4.
Da’i (sebagai
pelaku dakwah) harus belajar menyenangi hidup bersama orang dari budaya yang
lain.
5.
Mengenali
tempat, situasi dan kondisi masyarakat.
6.
Membuat karya
budaya sarat dakwah seperti wayang dakwah, cerita, dongeng, drama yang berisi
pesan dakwah persuasif dan inklusif, design pakaian Islam yang modern dan
syar’i.
Fungsi dakwah Islam dalam konteks budaya
ada dua macam yaitu pertama,
menciptakan kondisi yang sesubur mungkin bagi kelanjutan sintesa budaya Islam
yang di masa silam belum lagi sempat mencapai puncak kemekarannya. Kedua, memberikan
makna dan format spiritual bagi proses kehidupan antar budaya kita yang
berkiblat pada perkembangan menuju moderinitas.
D.
Pelopor dakwah di bidang budaya
Apakah
kita semua tahu siyapa pelopor dakwah di bidang seni, sastra dan budaya?
Khususnya di Pulau Jawa. Ya!.. tentu saja para walisongo adalah pelopor dakwah
dengan seni, sastra dan budaya di Jawa. Walisongo adalah sejumlah guru besar
atau ulama’ yang berjumlah sembilan yang diberi tugas untuk dakwah islamiyah di
wilayah tertentu. Walisongo mencapai sukses besar dalam syiar Islam di tanah
Jawa ini. Selain ahli dalam bidang keagamaan, Walisongo juga ahli dalam seni
dan sastra budaya, khususnya sastra pesantren. Dalam penyebaran agama Islam
Walisongo juga memasuki ranah-ranah seni dan budaya masyarakat. Mereka gemar
dengan kebudayaan dan sastra daerah. Walisongo menciptakan syair-syair atau
puisi dan tembang-tembang atau lagu dengan memasukkan ajaran Islam di dalamnya
dalam berdakwah. Karya-karya beliau di bidang seni dan satra budaya antara
lain:
1.
Maulana Malik Ibrahim atau Sunan Gresik
Beliau
termasuk salah satu dari Walisongo yang menyiarkan agama Islam di Gresik.
Setelah kerajaan Majapahit lenyap dari sejarah, munculah kerajaan Demak yang
dipimpin oleh para Sultan yang didukung oleh para Wali, salah satunya ialah
Maulana Malik Ibrahim. Beliau juga berpartisipasi dalam penyempurnaan bentuk
dan lakon wayang agar tidak bertentangan dengan agama Islam.
2.
Maulana Makdum Ibrahim atau Sunan Bonang
Sunan
Bonang termasuk Walisongo yang sukses dalam menyiarkan agama Islam. Beliau
menggunakan seni dan budaya sebagai perantara dakwah Islamiyah. Diantara
sumbangan beliau dalam seni dan sastra budaya adalah dakwah melalui pewayangan,
menyempurnakan instrumen gamelan terutama bonang, kenong dan kempul,
menciptakan tembang Macapat dan suluk Wujil. Di dalam suluk Wujil berisi
tentang ilmu kesempurnaan hidup dan mistik.
3.
Syarifudin atau Sunan Drajat
Sunan
Drajat menjadi juru bicara rakyat yang tertindas dan beliau mengecam elite
politik yang hanya mengejar kekuasaan demi kepentingan pribadi. Beliau juga
berdakwah melalui sastra budaya. Diantara karyanya adalah tembang Pangkur, yang
menghendaki keselarasan jasmani rohani, dunia akhirat untuk memperoleh
kesejahteraan hidup.
4.
Raden Mas Syahid atau Sunan Kalijaga
Sunan
Kalijaga merupakan wali yang paling populer di mata orang Jawa. Di antara
karya-karya beliau dalam berdakwah adalah tiang Masjid Demak yang terbuat dari
tatal, gamelan Naga Wilanga, gamelan Guntur Madu, gamelan Nyai Sekati, gamelan
Kyai Sekati, wayang kulit Purwa, baju takwa, kain balik, tembang Dhandhanggula
dan syair-syair pesantren. Di dalam tembang Dhandhanggula tergambar makna-makna
kehidupan.
5.
Jaka Samudra disebut juga dengan Raden Paku
Atau Sunan Giri
Sunan
Giri adalah murid dari Sunan Ampel. Selain berdakwah dengan sastra budaya, beliau
juga mendirikan Pesantren Giri di Gresik. Karya-karya beliau diantaranya
permainan Jetungan, Jemuran, Gula Ganti, Cublek-cublek Suweng, tembang
Asmaranda, tembang Pucung dan Ilir-ilir yang sampai sekarang masih sering kita
dengarkan. Tembang Ilir-ilir menyuruh kita untuk menggunakan kesempatan hidup
di dunia untuk mempersiapkan bekal guna di hari akhir kelak.
6.
Jakfar Shadik atau sunan kudus
Sunan
Kudus adalah salah satu Walisongo yang bertugas melakukan syiar Islam di
sekitar daerah Kudus, Jawa Tengah. Dalam berdakwah beliau menciptakan karya
sastra budaya berupa Tembang Maskumambang dan Tembang Mijil.
7.
Raden Umar Said atau Sunan Muria
Sunan
Muria adalah putra Sunan Kalijaga. Beliau disebut Sunan Muria karena wilayah
syiar Islamnya meliputi lingkungan Gunung Muria. Karya sastra budaya Sunan
Muria sebagai dakwah antara lain Tembang Sinom dan Tembang Kinanti.
8.
Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati
Beliau
merupakan peletak pondasi agama Islam di daerah Jawa Barat. Meskipun beliau
tidak menciptakan karya sastra budaya, beliau turut aktif mendukung sastra dan
budaya di kerajaan Demak. Karena Sultan Trenggono raja ketiga Demak mengawinkan
adik putrinya, Putri Demak dengan Syarif Hidayatullah.
9.
Raden Rakhmat atau Sunan Ampel
Selain
berpartisipasi dalam bidang sastra budaya sebagai media dakwah, beliau juga
mendirikan sebiah pesantren di Ampeldenta Surabaya. Di pesantren inilah
berkembang pesat dakwah meliau melalui sastra pesantren. Diantara sastra
pesantren yang masih sering kita lantunkan adalah singiran Tombo Ati. Singiran
Tombo Ati berisi tentang butir lima dalam kehidupan masyarakat sebagai obat
gelisah.
Melalui
tembang-tembang tersebut Walisongo mampu meraih hati dan jiwa masyarakat untuk
mamahami serta melakukan ajaran-ajaran Islam. Walisongo tidak pernah memaksa
dalam bersyiar Islam. Mereka berbaur kedalam masyarakat dan di tengah keakraban
merekalah Walisongo memasukkan ajaran-ajaran Islam melalui sendi-sendi
humaniora dan budaya masyarakat. Dalam Al-Qur'an surat An-Nahl ayat 125
dijelaskan: ”Serulah manusia kepada jalan
Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran baik. Dan bantahlah mereka dengan cara yang
lebih baik...”
Kebudayaan
jawa yang saat itu (sebelum Walisongo datang) bertentangan dengan Islam
sebenarnya telah dibantah oleh Walisongo. Pembantahan Walisongo pada kebudayaan
tersebut tidak serta merta mengecam dan menolak melainkan dengan cara halus
dengan mengarahkan kebudayaan tersebut sedikit demi sedikit agar tidak
bertentangan dengan Islam.[11]
BAB
III
KESIMPULAN
Dari
pembahasan di atas dapat disimpulkan bahawa dakwah di bidang budaya belum
terlalu kering dibandingkan dakwah dibidang lainnya, akan tetapi apabila dakwah
di bidang budaya ini dikembangkan lagi dampaknya dimungkinkan akan lebih bagus
lagi bagi kehidupan umat di dunia untuk menuju kejalan yang di ridhai Allah
SWT, dan orang-orang di Negeri ini masih mementingkan siapa dan menggunakan apa
orang itu menyampaikan kebaikan bukan apa isi dari yang disampaikan. Hal itu
yang membuat dakwah dibidang ini masih terlalau kering.
Untuk
berdakawah di bidang budaya inipun kita perlu memperhatikan setrategi yang
layakanya jitu supaya dakwah yang kita sampaiakn dapat dengan mudah
tersampaiakan, seperti yang telah dijelaskan di atas. Dan bila menengok kemasa
lampau para ulama hebata(wali sanaga) telah dinobatakan sebagai pelopor dakwah
dibidang budaya sesuai pembahasan diatas.
DAFTAR
PUSTAKA
SyukurAsmuni.1983.Dasar-Dasar
Setrategi Dakwah Islam.(Surabaya: Al Ikhlas)
Prastya Joko Tri. 2009. Ilmu
Budaya Dasar.( Jakarat:Rineka Cipta)
Koentjaraningrat. 1986. Pengantar
Ilmu Antropologi. (Jakarta:Aksara Baru)
Al-Malaky Ekky.2003. Penuntun
remaja (Why Not?).(Bandung:Mizan, Bandung)
Simuh.1996.Sufisme Jawa,
Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa.(Yogyakarta:Yayasan Bintang)
Abdullah Taufik.1987.Islam dan
Masyarakat Pantulan Sejarah Indonesia.(Jakarta: LP3ES)
Aripudin Acep .2012.Dakwah Antarbudaya.(Bandung: PT Remaja Rosdakarya), Bandung, cet1
http://wachidskom.blogspot.com/2012/07/makalah-berdakwah-melalui-seni-dan.html,
sabtu(04:46)
[1]
Asmuni Syukur, Dasar-Dasar Setrategi
Dakwah Islam, Al Ikhlas, Surabaya, 1983, hlm 17-19
[2]
Joko Tri Prastya, Ilmu Budaya Dasar,
Rineka Cipta, Jakarta, 2009, hlm28
[3]
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi,
Aksara Baru, Jakarta, 1986, hlm. 180.
[4]
Ekky Al-Malaky, Penuntun remaja (Why
Not?), Mizan, Bandung, 2003, hlm 83
[5]
Simuh, Sufisme Jawa, Transformasi Tasawuf
Islam ke Mistik Jawa, Yayasan Bintang, Yogyakarta, 1996, hlm, 6
[6]
Ibid.,Asmuni Syukur, hlm179-180
[7]
Acep Aripudin, Dakwah Antarbudaya, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, cet 1, 2012,
hlm 119-120
[8]
Taufik Abdullah, Islam dan Masyarakat
Pantulan Sejarah Indonesia, LP3ES, Jakarta, 1987, hlm 227
[9]
Ibid
[10]
Op.cit, hlm121
Tidak ada komentar:
Posting Komentar