I.
PENDAHULUAN
Agama pada awalnya berupa teks Tuhan, turun kedalam kehidupan umat
manusia untuk menuntun manusia menjalani kehidupan yang sesuai dengan nilai,
aturan, dan etika yang telah digariskan Tuhan. Seiring dengan berakhirnya masa
kerasulan Muhammad SAW, tidak berarti studi tentang agama terhenti begitu saja.
Perbincangan dan studi mengenai agama
seolah tidak pernah selesai dan usang dimakan zaman.
Perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan, termasuk perkembangan
ilmu-ilmu sosial kemasyarakatan yang begitu pesat relatif mempercepat jarak
perbedaan budaya antara satu wilayah dan wilayah yang lain. Hal demikian pada
gilirannya juga berpengaruh cukup besar terhadap kesadaran manusia tentang apa
yang disebut fenomena agama. Studi agama untuk era sekarang tidak lagi dapat
didekati dan dipahami hanya lewat pendekatan teologis-normatif semata. Akan
tetapi, perlu juga memperhatikan aspek historis-empiris-kritis.
Ketika melakukan
studi/penelitian tentang agama Islam, perlu lebih dahulu ada kejelasan Islam
pada level mana yang akan diteliti. Maka penyebutan Islam normatif dan historis
adalah salah satu dari penyebutan level tersebut. Untuk memahami seperti apakah
Islam normatif dan historis, akan lebih lanjut dipaparkan dalam makalah ini.
II. PERMASALAHAN
A. Apa pengertian Islam
Normatif?
B. Apa pengertian Islam
Historis?
C. Bagaimanakah
Pengelompokan Islam Normatif?
D. Bagaimanakah membangun
Universalisme Islam?
III.PEMBAHASAN
A. Pengertian Islam
Normatif
Normatif
berasal dari kata norm yang berarti norma, ajaran, acuan, ketentuan
tentang masalah yang baik dan buruk, yang oleh dilakukan dan tidak boleh
dilakukan. Dalam hubungan ini kata norma erat kaitannya dengan akhlaq, yaitu
perbuatan yang muncul dengan mudah dari kesadaran jiwa yang bersih dan
dilakukan atas kemauan sendiri, bukan berpura-pura dan bukan pula paksaan.
Selanjutnya karena akhlaq merupakan inti dari agama, bahkan inti dari ajaran
al-Qur'an, maka norma sering diartikan pula agama. [1]
Islam
normatif adalah Islam sebagai wahyu dan pada dimensi sakral yang diakui adanya
realitas transendetal yang bersifat mutlak dan universal, melampaui ruang dan
waktu atau sering disebut realitas ke-Tuhan-an. Sebagai
wahyu, Islam didefinisikan sebagaimana ditulis di bawah ini:
وحي الهي يوحي الي نبينا محمد ص ع لسعا دة الدنيا والاخرة
Artinya:
wahyu Ilahi yang diwahyukan kepada nabi Muhammad SAW untuk kebahagiaan
kehidupan dunia dan akhirat.
Islam normatif diidentikkan dengan
syari’at dan wahyu. Syari’at dari segi istilah didefinisikan oleh Mustafa Ahmad
Al-Zarqa adalah kumpulan perintah dan hukum-hukum yang berkaitan dengan
kepercayaan (iman dan Ibadah) dan hubungan kemasyarakatan (mu’amalah) yang
diwajibkan oleh Islam untuk diaplikasikan dalam kehidupan guna mencapai kemaslahatan
masyarakat. Sementara wahyu adalah wahyu
Allah yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW, untuk kebahagiaan manusia
didunia dan di akhirat.
Sebagaimana definisi diatas, normativitas ajaran wahyu
dibangun, diramu, dibakukan dan ditelaah lewat berbagai suatu pendekatan
doktrinal teologis.[2]
Oleh karena itu, Islam normatif adalah Islam ideal yang mengacu kepada
ketentuan-ketentuan didalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
B. Pengertian Islam
Historis
Islam historis atau Islam sebagai produk sejarah adalah
Islam yang dipahami dan Islam yang dipraktekan kaum muslim di seluruh dunia,
mulai dari masa nabi Muhammad SAW sampai sekarang.[3]
Sementara olek Lakatos Islam
historis merupakan domain yang disebut dengan “protektivebelt” yakni domain
utama dari apa yang disebut sebuah ilmu, sistem pengetahuan yang secara
langsung dapat di nilai, di uji ulang, diteliti, dipertanyakan, direformasikan
ulang dan dibangun kembali. Kajian Islam historis menekankan Islam sebagai
agama yang berevolusi(envolving religion), agama yang berubah dari waktu
ke waktu, sesuai dengan tuntunan zaman dan tempat.[4]
Dalam
pemahaman kajian Islam historis, tidak ada konsep atau hukum Islam yang
bersifat tetap. Semua bisa berubah. Mereka berprinsip bahwa pemahaman hukum
Islam adalah produk pemikiran para ulama yang muncul karena konstruk sosial
tertentu.
Islam historis merupakan unsur kebudayaan yang dihasilkan
oleh setiap pemikiran manusia dalam interpretasi atau pemahamannya terhadap
teks, maka Islam pada tahap ini terpengaruh bahkan menjadi sebuah kebudayaan.
Dengan semakin adanya problematika yang semakin kompleks, maka kita yang hidup
pada era saat ini harus terus berjuang untuk menghasilkan pemikiran-pemikiran
untuk mengatasi problematika kehidupan yang semakin kompleks sesuai dengan latar
belakang kultur dan sosial yang melingkupi kita, yaitu Indonesia saat ini. Kita
perlu pemahaman kontemporer yang terkait erat dengan sisi-sisi
kemanusiaan-sosial-budaya yang melingkupi kita.
Perbedaan dalam melihat
Islam yang demikian itu dapat menimbulkan perbedaan dalam menjelaskan Islam itu
sendiri. Islam dilihat dari sudut historis atau sebagaimana yang nampak dalam
masyarakat, maka Islam tampil sebagai sebuah disiplin ilmu (Islamic Studies).
Sejarah
atau historis adalah suatu ilmu yang di dalamnya dibahas berbagai peristiwa
dengan memperhatikan unsur tempat, waktu, obyek, latar belakang, dan pelaku
dari peristiwa tersebut. Menurut ilmu ini segala peristiwa dapat dilacak dengan
melihat kapan peristiwa itu terjadi, di mana, apa sebabnya, siapa yang terlibat
dalam peristiwa tersebut.
Melalui
pendekatan sejarah seorang diajak untuk beranjak dari alam idealis ke alam yang
bersifat empiris dan mendunia. Dari keadaan ini seseorang akan melihat adanya
kesenjangan atau keselarasan antara yang terdapat dalam alam idealis dengan
yang ada di alam empiris dan historis. Pendekatan kesejarahan ini amat
dibutuhkan dalam memahami agama, karena agama itu sendiri turun dalam situasi
yang konkret bahkan berkaitan dengan kondisi social kemasyarakatan.
C. Pengelompokan Islam
Normatif dan Historis
Hubungan
antara Islam normatif dan historis dapat membentuk hubungan dialektis dan
ketegangan. Hubungan Dialektis terjadi jika ada dialog bolak-balik yang saling
menerangi antara teks dan konteks. sebaliknya akan terjadi hubungan ketegangan
jika salah satu menganggap yang lain sebagai ancaman.
Wilayah
normatif ajaran agama Islam menyatu dalam praktek keseharian wilayah sejarah
kemanusiaan Nabi Muhammad SAW. Dalam
konsepsi Islam, tidak dikenal dunia “idea” Plato atau sommum bonum ( kebaikan
tertinggi) yang terlepas jauh dan tidak terkait sama sekali denga historitas
kemanusiaan dalam kehidupan sehari-hari. Kebaikan tertinggi atau sommum
bonum hanya dapat disebut demikian. Jika terinternalisasikan dan
terimplementsikan dalam kehidupan keseharian seseorang. Hanya perbedaan
intensitas, kedalaman penghayatan, barangkali, yang membedakan antara yang satu
dari yang lain. Untuk itu, al-Qur'an memberi batasan yang sangat universal,
dengan menyebut bahwasanya orang-orang yang paling mulia-dalam artian sommum bonum di atas- dihadapan Tuhan
adalah orang yang paling kuat intesitas kedalam taqwanya dihadapan Tuhan,
ketika mereka harus mengarungi wilayah perjuangan kehidupan di muka bumi.[5]
Pergumulan
antara historisitas dan normativitas, sebenarnya dimulai sejak awal kehidupan
kemanusiaan itu lahir, yang kemudian tersimbolkan dalam perjuangan dan sejarah
hidup Nabi Muhammad dan para Nabi sebelumnya. Para pemerhati sejarah Islam
sangat memahami kedudukan sentral Nabi Muhammad sebagai makhluk historis, yang
selalu berhadapan dengan beberapa pilihan tata nilai yang bersifat pluralistik.
Bahkan jika ditilik secara lebih tajam ayat-ayat al-Qur'an yang mengilhami
manusia muslim untuk berperilaku dan bertindak di bumi, menurut Prof. Arkoun,
adalah bersifat Zamkany (zaman dan makan) yakni selalu melibatkan dimensi
historisitas ruang dan waktu. Asbab al-Nuzul ( sebab-sebab turunnya al-Qur'an)
tidak lain dan tidak bukan adalah dimensi historisitas al-Qur'an, dimana
fundamental values selau ada dibelakangnya. Tidak ada alasan untuk mengeliminir
kenyataan ini, sehingga dengan demikian konsepsi sommum bonum yang sama
sekali terlepas dari historisitas kemanusiaan seorang Muslim adalah sangat naif
untuk dipertahankan.[6] Untuk itu
faktor keteladanan yang bersifat historis- empiris dalam diskursus keberagamaan
Islam pada khususnya memang lebih diutamakan daripada konsepsi teo-filosofis
yang transedental.
Menentukan
bentuk hubungan yang pas antara keduanya adalah merupakan separuh jalan untuk
mengurangi ketegangan antara kedua corak pendekatan tersebut. Ketegangan bisa
terjadi, jika masing-masing pendekatan saling menegaskan eksistensi dan
menghilangkan manfaat nilai yang melekat pada pendekatan keilmuan yang dimiliki
oleh masing-masing tradisi keilmuan.
Amin Abdullah memaparkan, hubungan antara keduanya adalah ibarat sebuah
koin dengangan dua permukaan.[7] Hubungan
antara keduanya tidak dapat dipisahkan, tetapi secara tegas dan jelas dapat
dibedakan. Hubungan keduanya tidak berdiri sendiri-sendiri dan
berhadap-hadapan, tetapi keduanya teranyam, terjalin dan terajut sedemikian
rupa sehingga keduanya menyatu dalam satu keutuhan yang kokoh dan kompak. Makna
terdalam dan moralitas keagamaan tetap ada, tetap dikedepankan dan digaris
bawahi dalam memahami liku-liku fenomena keberagaman manusia, maka ia secara
otomatis tidak bisa terhindar dari belenggu dan jebakan ruang dan waktu.
Dalam pandangan Islam normatif kemurnian Islam dipandang secara
tekstual berdasarkan Alqur’an dan Hadits. Kajian Islam normative melahirkan
tradisi teks : tafsir, teologi, fiqh, tasawuf, filsafat.
1.
Tafsir : tradisi penjelasan dan pemaknaan
kitab suci
2.
Teologi : tradisi pemikiran tentang persoalan
ketuhanan
3.
Fiqh : tradisi pemikiran dalam bidang
yurisprudensi (tata hukum)
4.
Tasawuf : tradisi pemikiran dan laku dalam
pendekatan diri padaTuhan
5.
Filsafat :
tradisi pemikiran dalam bidang hakikat kenyataan, kebenaran dan kebaikan [8]
Sementara itu, dalam pemahaman kajian Islam historis,
tidak ada konsep atau hukum Islam yang bersifat tetap semua bisa berubah. Kaum
historis memiliki pemahaman tentang hukum Islam yang mana hukum Islam itu
adalah produk dari pemikiran ulama yang muncul karena konstruk sosial tertentu.
Dalam kajian Islam historis ditekankan aspek relitivitas pemahaman keagamaan.
Pemahaman manusia terhadap ajaran agamanya adalah bersifat relatif dan terkait
dengan konteks budaya social tertentu.
Kajian Islam historis melahirkan tradisi atau disiplin
studi empiris: antropologi agama, sosiologi agama, psikologi agama dan
sebagainya.
1.
Antropologi
agama : disiplin yang mempelajari tingkah
laku manusia beragama dalam hubungannya dengan kebudayaan
2.
Sosiologi
agama : disiplin yang mempelajari
sistem relasi sosial masyarakat dalam hubungannya dengan agama
3.
Psikologi
agama : disiplin yang mempelajari
aspek-aspek kejiwaan manusia dalam hubungannya dengan agama
Sejalan
dengan pengelompokkan Islam normatif dan Islam historis diatas, ada pula
ilmuwan yang membuat pengelompokkan lain. Misalnya, Nasr Hamid Abu Zaid
mengelmpokkan menjadi tiga wilayah (domain).
Pertama, wilayah text asli Islam
(the original text of Islam). Yaitu al-Quran dan sunnah nabi Muhammad SAW yang
otentik.
Kedua, pemikiran Islam yang merupakan
ragam menafsirkan terhadap teks asli Islam (al-Quran dan sunnah nabi Muhammad
SAW.) dapat pula disebutkan hasil ijtihad terhadap teks asli Islam, seperti
tafsir dan fiqih. Dalam kelompok ini dapat ditemukan dalam empat pokok cabang:
- Hukum atau fikih
- Teologi
- Filsafat
- Tasawuf
Ketiga,
praktek yang dilakukan kaum muslim. Praktek ini muncul dalam berbagai macam dan
bentuk sesuai dengan latar belakang sosial (konteks). Contoh diantaranya adalah
praktek sholat muslim di Pakistan yang tidak meletakkan tangan di dada,
sementara muslim Indonesia meletakkan tangan di dada. Contoh lain praktek duduk
miring ketika takhiyat akhir bagi muslim Indonesia, sementara muslim di
tempat/negara lain tidak melakukannya. Contoh lain di bidang ritual keagamaan,
seperti memperingati kelahiran nabi Muhammad SAW juga bermacam-macam di
kalangan muslim.[9]
Kemudian
Abdullah Saeed juga menyebut tiga tingkatan pula :
Tingkatan
pertama adalah nilai pokok/dasar/asas, keperrcayaan, ideal dan
institusi-institusi. Terhadap tingkatan pertama ada persetujuan yang besar
diantara kaum muslimin, seperti keesaan Allah, bahwa Muhammad SAW adalah utusan
Allah, bahwa Al-Qur’an adalah wahyu Allah, bahwa wajib shalat lima waktu sehari
semalam, puasa di bulan Ramadhan, membayar zakat, melakukan haji bagi yang
mampu, bahwa hukum meminum-minuman yang memabukkan adalah dilarang.
Tingkatan
kedua, penafsiran terhadap nilai dasar tersebut dapat dilaksanakan/
dipraktekkan. Dalam tingkatan ini ada perbedaan pendapat diklangan kaum
muslimin. Misalnya, sentuhan yang membatalkan wudlu’. Ada ulama yang
berpendapat sentuha yang membatalkan wudlu’ adalah semua sentuhan antara
laki-laki perempuan yang sudah dewasa tetapi bukan tua-bangka. Sementara ulama
lain berpendapat bahwa sentuhan yang membatalakn wudlu adalah kumpul suami dan
istri.
Tingkatan
ketiga adalah manifestasi atau praktek berdasarkan pada nilai-nilai dasar budaya.
Misalnya warna dan model pakaian yang dipakai muslim untuk sholat yang beragam.[10]
Pengelompokan
lain adalah oleh Ibrahim M. Abu Rabi'. Meskipun mencampurkan antara pelapisan
dan pengelompokan. Ibrahim menetapkan empat yakni :
Pertama,
Islam sebagai dasar ideologi atau filosofi. Maksud Islam pada dataran ideologi
adalah landasan gerakan sekelompok orang, sekelompok komunitas dengan
mengatasnamakan Islam. Maka pada tingkatan ini Islam identik dengan ideologi
sosialis, ideologi kapitaslis, dan ideologi-ideologi sejenis lainnya.
Kedua,
Islam sebagai dasar teologi. Sebagai dasar teologi, secara sederhana berarti
berserah kepada satu Tuhan. Teologi dalam kamus Oxford A.P. Cowie adalah a
formal study of natura of God and of the foundation of religion belief. Prinsipnya
pada tingkatan inilah agama yang didefinisikan sebagai pengakuan terhadap
adanya hubungan manusia dengan kekuatan gaib yang harus di patuhi, pengakuan
terhadap adanya kekuatan gaib yang menguasai manusia. Pendeknya adanya
pengakuan pada kekuatan super natural dan gaib diluar kekuatan dan kekuasaan
manusia.[11]
Ketiga,
Islam pada level teks, yakni teks asli sumber ajaran Islam berupa al-Qur'an dan
sunnah Nabi Muhammad SAW. Yang terakhir, Islam pada level praktek. Dalam
tingkatan ini, praktek yang dilakukan kaum Muslim sepanjang sejarah muslim
dalam berbagai macam latar belakang sosial, budaya dan tradisi.
Munculnya
pengelompokan (level) Islam yang berbeda sperti tersebut diatas dilatari oleh
perbedaan konteks dan kepentingan pemikir yang menjelaskan. Nasr hamid Abu Zaid
mengelompokkan untuk domain studi Islam. Sementara Abdullah Saeed dalam konteks
untuk menjelaskan ada ajaran pokok yang disepakati, ada pula ajaran sebgai
ijtihad dan praktek yang muncul perbedaan. Demikian juga Abu Rabi' misalnya
mengelompokkan berdasarkan dan untuk kepentingan penjelasan hubungan
agama-agama, dimana ada kesamaan ditingkat tertentu.
Untuk
kepentingan pembahasan dan analisis, dalam tulisan ini lebih tepat menggunakan
teori yang mengelompokkan Islam menjadi tiga level :
Pertama,
Islam pada level teks asli berupa al-Qur'an dan sunnah Nabi Muhammad SAW yang
otentik. Pada level ini dapat disebut kaum muslimin diseluruh dunia, mempunyai
al-Qur'an dan sunnah yang sama.
Kedua,
Islam pada level pemahaman atau penafsiran terhadap teks asli ( hasil ijtihad).
Pada level ini Islam dapat pula disebut Islam sebagai hasil/produk
pemikiran/ijtihad. Pada level ini penafsiran dan pemahaman muncul banyak
sekali.
Ketiga,
Islam pada level praktek muslim dalam kehidupan nyata sesuai dengan latar
belakang historis, budaya dan tradisi masing. [12]
Pada
level teks, sebagaimana telah ditulis sebelumnya, Islam didefinisikan sebagai
wahyu. Pada dataran ini, Islam identik dengan nash wahyu atau teks yang ada
dalam al-Qur'an dan sunnah Nabi Muhammad. Pada level teks ini Islam, sesuai
dengan pendapat sejumlah ilmuwan (ulama) dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni
:
1.
Nash
prinsip atau normatif-universal
2.
Nash
praktis-temporal
Nash
kelompok pertama, nash prinsip atau normatif universal, merupakan
prinsip-prinsip yang dalam aplikasinya sebagian telah diformatkan dalam bentuk
nash praktis di masa perwahyuan ketika Nabi masih hidup.
Adapun
nash praktis temporal, sebagian ilmu pengetahuan menyebutnya nash kontekstual
adalah nash yang turun untuk menjawab secara langsung terhadap
persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat muslim Arab ketika masa
perwahyuan. Pada kelompok ini pula Islam dapat menjadi fenomena sosial atau
Islam aplikatif atau Islam praktis.[13]
Islam
sebagai praktek adalah Islam yang dipraktekkan Muslim sebgai jawaban terhadap
persoalan yang muncul dalam kesehariannya sebagai penganut agama Islam. Maka
pada level ini terjadi akulturasi antara pemahaman dengan adat yang berlaku
dalam masyarakat.[14]
Berdasar pembagian level diatas dapat kita liat bahwa memahami kitab
suci (misalnya Alquran) tidak bisa dilepaskan dari konteks historisnya, dan tak
berhenti pada teksnya saja. Teks harus diinterprestasikan berdasar konteks dari
turunnya teks. Melepaskan teks dari konteks historisnya mengakibatkan kita
berhadapan dengan teks yang kosong, memahami teks hanya terbatas pada teks akan
melahirkan pemahaman yang kering dan menjebak pada perdebatan linguistik semata
dan akhirnya mengaburkan dimensi spiritualis yang melatar belakangi proses
historis dari turunnya teks itu sendiri.
D.
Membangun
Universalisme Islam
Sifat dan ciri-ciri ajaran Islam yang ditarik
dan dipahami dari kumpulan berbagai argumentasi keagamaan, cukup banyak antara
lain : (1) Rabbaniyah, (2) asy-Syumul (keumuman); al-Waqi'iyyah
(berpijak pada kenyataan objektif manusia). Dari sifat al-Waqi'iyyah,persoalan universalisme
Islam dapat dipahami secara lebih jelas.
Kalau
kita menyadari bahwa fitrah (naluri) kemanusiaan merupakan sesuatu yang
dimiliki oleh seluruh manusia, kapan dan dimana saja, maka itu berarti bahwa
al-Qur'an mengklaim bahwa ajaran yang diperkenalkannya itu sesuai dengan
seluruh umat manusia. Hanya saja disisi lain ada pula suatu kenyataan yang
tidak dapat dihindari oleh manusia itu, yakni adanya perbedaan yang diakibatkan
oleh waktu dan tempat, maupun oleh massing-masing pribadi manusia. Sifat
redaksi al-Qur'an merupakan salah satu faktor yang dapat menumbuhsuburkan
perbedaan-perbedaan ini.[15]
Waqi'iyyah ajaran Islam tercermin dalam petunjuknya yang rinci dan
global. Keduanya didasarkan pada fitrah manusia, yakni :
1.
Apabila fitrah manusia dalam hal
yang berkaitan dengan materi, petunjuknya tidak akan mengalami perubahan, maka
al-Qur'an menghadirkan petunjuk-petunjuk yang rinci, seperti dalam hal
hukum-hukum perkawinan. Seorang anak atau saudara, selama mereka normal, tidak
mungkin akan memiliki birahi terhadap ibu dan saudaranya. Demikian pula dalam
rincian persoalan metafisika yang tidak mungkin akan dijangkau rinciannya oleh
nalar manusia. Karena itu dalam hal ini, sifat redaksi ayat-ayat cenderung
bersifat qath'iyyu ad-dilalah dan jika demikian halnya tentu ia pun akan
bersifat universal.
2.
Apabila petunjuk-petunjuk
dimaksud berkaitan dengan kemampuan manusia berkaitan dengan kemapuan manusia
untuk menjabarkannya lebih jauh, atau berkaitan dengan adanya kemungkinan
perubahan-perubahan dalam pandangan manusia, maka ketika itu, petunjuknya
selalu dapat menemukan interpretasi yang berbeda, agar ayat-ayat tersebut dapat
menampung setiap perbedaan yang yang diakibatkan oleh penalaran yang sehat.[16]
Dari sini, diantara para ulama
kontemporer memperkenalkan istilah i'lmiyat al-Islam, artinya terdapat
ajaran-ajaran yang berbeda antara satu wilayah denga wilayah lain, akibat
perbedaan kondisi, situasi, sejarah, dan penalaran ulama-ulama setempat. Jika demikian
halnya, maka kita dapat menghindar dari pengakuan tentang adanya ajaran Islam
yang bersifat partikular, sebagaimana ada juga yang bersifat universal.[17]
Universalisme
Islam menampakkan diri dalam berbagai manifestasi penting dan yang terbaik
adalah dalam ajaran-ajarannya. Rangkaian ajaran yang meliputi berbagai bidang,
seperti hokum agama (fiqh), keimanan (tauhid), etika (akhlak, sering kali
disempitkan oleh masyarakat hingga menjadi hanya kesusilaan belaka) dan sikap
hidup, menampilkan kepedulian yang sangat besar kepada unsur-unsur utama dari
kemanusiaan (al-insaniyyah). Prinsip-prinsip seperti persamaan derajat di muka
hukum, perlindungan warga masyarakat dari kezaliman dan kesewenang-wenangan,
penjagaan hak-hak mereka yang lemah dan menderita kekurangan dan pembatasan
atas wewenang para pemegang kekuasaan, semuanya jelas menunjukkan kepedulian di
atas.[18]
Sementara itu, universalisme yang tercermin dalam ajaran-ajaran yang memiliki
kepedulian kepada unsur-unsur utama kemanusiaan itu diimbangi pula oleh
kearifan yang muncul dari keterbukaan peradaban Islam sendiri.
Kearifan yang muncul dari
keterbukaan peradaban Islam, seharusnya dipakai sebagai landasan memahami kitab
suci Alqur'an, khususnya berkenaan dengan kata-kata al-Islam dan segenap
derivasinya, seperti kata-kata muslim sebagai kata benda pelaku (participle)
atau kata sifat dari Islam, dan seterusnya.[19]
Pada hakikatnya semua pengertian yang dikandung kata Islam menunjukkan
pengertian umum yang mendasar dan lengkap, serta menuju kepada yang satu yaitu
penyerahan diri atau pasrah kepada Tuhan.[20]
Sikap pasrah kepada Tuhan itu merupakan hakikat dari seluruh alam, seluruh
ciptaan Tuhan baik dari benda hidup maupun benda mati selalu ta'at dan pasrah
kepada-Nya. Dengan sikap yang demikian akan mewujudkan kedamaian, keselamatan,
kesejahteraan, serta kesempurnaan hidup lahir batin dunia akhirat.Inilah yang
mmenjadi dasar adanya keteraturan dan predictability pada hukum Islam
sampai batas yang amat jauh, sehingga dapat dipedomani (kemudian digunakan)
oleh manusia melalui pemahamannya akan hukum-hukum itu (ilmu pengetahuan).
Dengan demikian Islam yang sesuai dengan fitrah manusia sangat menjunjung
tinggi urgensi ilmu pengetahuan.[21]
Al-Islam menjadi landasan universal kehidupan manusia,
berlaku untuk setiap orang, setiap tempat dan
waktu. Oleh karena itu, al-Islam merupakan titik temu semua
ajaran yang benar, maka diantara penganut yang tulus akan ajaran itu pada
prinsipnya harus dibuna hubungan dan pergaulan yang sebaik-baiknya. Kecuali
dalam keadaan terpaksa, seperti jika salah satu dari mereka bertindak zalim
kepada yang lain. Sikap ini terutama diamanatkan kepada para pengikut Nabi
Muhammad, Rasul Allah yang terakhir. Kenapa? Karena salah satu tujuan dan fungi
umat Muhammad ini adalah sebgai penengah (wasit) antara sesama manusia, serta
sebagai saksi atas seluruh kemanusiaan.
Keterbukaan membuat kaum muslim
selama sekian abad menyerap segala macam menifestasi kultural dan wawasan
keilmuan yang datang dari pihak
peradaban-peradaban lain, baik yang masih ada waktu itu maupun yang sudah
mengalami penyusutan luar biasa (seperti peradaban Persia). Kearifan yang
muncul dari proses saling mempengaruhi antara peradaban-peradaban yang dikenal
itu, waktu itu di kawasan “Dunia Islam” waktu itu, yang kemudian mengangkat
peradaban Islam ke tingkat sangat tinggi, hingga menjadi apa yang disebutkan
sejarawan agung Arnold J. Toynbee sebagai oikumene (peradilan dunia) Islam.
Oikumene Islam ini, menurut Toynbee, adalah salah satu di antara enam belas
oikumene yang menguasai dunia. Kearifan dari oikumene Islam itulah yang paling
tepat untuk disebut sebagai kosmopolitanisme peradaban Islam. Kisah kedua wajah
Islam itu, universalisme ajaran dan kosmopolitanisme peradaban akan disajikan
pada kesempatan ini.
Salah satu ajaran yang dengan
sempurna menampilkan universalisme Islam adalah lima buah jaminan dasar yang
diberikan agama samawi terakhir ini kepada warga masyarakat baik secara
perorangan maupun sebagai kelompok. Kelima jaminan dasar itu tersebar dalam
literature hukum agama (al-kutub al
fiqhiyyah) lama, yaitu jaminan dasar akan (1) keselamatan fisik warga
masyarakat dari tindakan badani di luar ketentuan hukum, (2) keselamatan
keyakinan agama masing-masing, tanpa ada paksaan untuk berpindah agama, (3)
keselamatan keluarga [22]dan
keturunan, (4) keselamatan harta benda dan milik pribadi di luar prosedur
hukum, dan (5) keselamatan profesi. Jaminan akan keselamatan fisik warga
masyarakat mengharuskan adanya pemerintahan berdasarkan hukum, dengan perlakuan
adil kepada semua warga masyarakat tanpa kecuali, sesuai dengan hak
masing-masing. Hanya dengan kepastian hukumlah sebuah masyarakat mampu
mengembangkan wawasan persamaan hak dan derajat antara sesama warganya,
sedangkan kedua jenis persamaan itulah yang mmenjamin terwujudnya keadilan
social dalam arti sebenar-benarnya. Sedangkan kita ini mengetahui, bahwa
pandangan hidup (Worldview,
Weltanschauung) paling jelas universalitasnya adalah pandangan keadilan
social.
Demikian juga, jaminan dasar
akan keselamatan keyakinan agama masing-masing bagi para warga masyarakat
melandasi hubungan antar-warga masyarakat atas dasar sikap saling hormat, yang
akan mendorong tumbuhnya kerangka sikap tenggang rasa dan saling pengertian
yang besar. Terlepas dari demikian kentalnya perjalanan sejarah dengan penindasan,
kesempitan pandangan dan kezaliman terhadap kelompok minoritas yang berbeda
keyakinan agamanya dari keyakinan mayoritas, sejarah umat manusia membuktikan
bahwa sebenarnya toleransi adalah bagian inherent dari kehidupan manusia.
Sejarah persekusi dan represi adalah sejarah ”orang besar”, walaupun sasarannya
selalu “orang kecil”. Dalam menerima persekusi dan represi tanpa keputusan wong
cilik membuktikan kekuatan toleransi dan sikap tenggang rasa dalam membangun
masyarakat.[23]
Justru toleransilah yang melakukan transformasi social dalam skala massif
sepanjang sejarah. Bahkan sejarah agama membuktikan munculnya agama sebagai
dobrakan moral atas kungkungan ketat dari pandangan yang dominan, yang berwatak
menindas, seperti dibuktikan oleh Islam dengan dobrakannya atas ketidakadilan
wawasan hidup jahiliyah yang dianut mayoritas orang arab waktu itu. Dengan
tauhid, Islam menegakkan penghargaan kepada perbedaan pendapat dan perbenturan
keyakinan. Jika perbedaan pandangan dapat ditolerir dalam hal paling mendasar
seperti keamanan, tentunya sikap tenggang rasa lebih lagi diperkenankan dalam
mengelola perbedaan pandangan politik dan ideology. Tampak nyata dari tilikan
aspek ini, bahwa Islam melalui ajarannya memiliki pandangan universal, yang
berlaku untuk umat manusia secara keseluruhan.
Jaminan dasar akan keselamatan
keluarga menampilkan sosok moral yang sangat kuat, baik moral dalam arti
kerangka etis yang utuh maupun dalam arti kesusilaan. Kesucian keluarga
dilindungi sekuat mungkin, karena keluarga merupakan ikatan sosial paling
dasar, karenanya tidak boleh dijadikan ajang manipulasi dalam bentuk apapun
oleh sistem kekuasaan yang ada. Kesucian keluarga inilah yang melandasi
keimanan yang memancarkan toleransi dalam derajat sangat tinggi. Dalam kelompok
masyarakat lebih besar, selalu terdapat kecenderungan untuk melakukan
formalisasi ajaran secara berlebihan, sehingga menindas kebebasan individu
untuk menganut kebenaran, kelompok supra-keluarga senantiasa mncoba
menghilangkan, atau setidak-tidaknya mempersempit,[24]
ruang gerak individu warga masyarakat untuk melakukan eksperimentasi dengan
pandangan hidupnya sendiri, dan untuk menguji garis batas kebenaran keyakinan.
Padahal upaya melakukan uji coba seperti itulah yang akan menajamkan kebenaran
masing-masing keyakinan pandangan maupun pemahaman. Islam memberikan kebebasan
untuk melakukan upaya perbandingan antara berbagai keyakinan, termasuk keimanan
kita, dan dalam proses itu membuktikan keampuhan konsep keimanan sendiri. Di
samping kebenaran yang dapat diraih melalui pengalaman esoteris, Islam juga
memberikan peluang bagi pencapaian kebenaran melalui proses dialektis. Justru
proses dialektis inilah yang memerlukan derajat toleransi sangat tinggi dari
pemeluk suatu keyakinan, dan Islam memberikan wadah untuk itu, yaitu lingkungan
kemasyarakatan terkecil yang bernama keluarga. Di lingkungan sangat kecil
itulah individu dapat mengembangkan pilihan-pilihannya tanpa gangguan,
sementara kohesi sosial masih terjaga karena keluarga berfungsi
mengintegrasikan warganya secara umum ke dalam unit kemasyarakatan yang lebih
besar.
Jaminan dasar akan keselamatan
harta-benda(al-milk, property)
merupakan sarana bagi berkembangnya hak-hak individu secara wajar dan
proposional, dalam kaitannya dengan hak-hak masyarakat atas individu. Masyarakat
dapat menentukan kewajiban-kewajiban yang diinginkan secara kolektif atas
masing-masing individu warga masyarakat. Tetapi penetapan kewajiban itu ada
batas terjauhnya, dan warga masyarakat secara perorangan tidak dapat dikenakan
kewajiban untuk masyarakat lebih dari batas-batas tersebut.[25]
Batas paling praktis, dan paling nyata jika dilihat dari perkembangan
Sosialisme dan terutama Marxisme-Leninisme saat ini, adalah pemilikan
harta-benda oleh individu. Dengan hak itulah warga masyarakat secara perorangan
memiliki peluang dan sarana untuk mengembangkan diri melalui pola atau cara
yang dipilihnya sendiri, namun tetap dalam alur umum kehidupan masyarakat.
Sejarah umat manusia menunjukkan bahwa hak dasar akan pemilikan harta benda
inilah yang menjadi penentu kreativitas warga masyarakat, berarti kesediaan
melakukan transformasi itulah warga masyarakat memperlihatkan wajah universal
kehidupannya?
Jaminan dasar akan keselamatan
profesi menampilkan sosok lain lagi dari universalitas ajaran Islam. Penghargaan
kepada kebebasan penganut profesi berarti kebebasan untuk melakukan
pilihan-pilihan atas risiko sendiri, mengenai keberhasilan yang ingin diraih
dan kegagalan yang membayanginya. Dengan ungkapan lain, kebebasan menganut
profesi yang dipilih berarti peluang menentukan arah hidup lengkap dengan
tanggung jawabnya sendiri. Namun pilihan itu tetap dalam kerangka alur umum
kehidupan masyarakat, karena pilihan profesi berarti meletakkan diri dalam alur
umum kegiatan masyarakat, yang penuh dengan ukuran-ukurannya sendiri. Ini
berarti keseimbangan cair yang harus terus-menerus dicari antara hak-hak
individu dan kebutuhan masyarakat, sebuah kondisi situasional yang serba
eksistensial sebagai wadah untuk menguji kebenaran keyakinan dalam rangkaian
kejadian yang tidak terputus-putus: bolehkah saya lakukan hal ini dari sudut
pandangan keimanan saya,[26]
padahal diharuskan oleh profesi saya? Rasanya tidak ada yang lebih universal
dari pencarian jawaban akan wujud kebenaran dalam rangkaian kejadian seperti
disajikan oleh tantangan dari dunia profesi itu.
Secara kesuruhan, kelima jaminan
dasar di atas menampilkan universalitas pandangan hidup yang utuh dan bulat.
Pemerintahan berdasarkan hukum, persamaan derajat dan sikap tenggang rasa
terhadap perbedaan pandangan adalah unsur-unsur utama kemanusiaan, dan
dengan demikian menampilkan
universalitas ajaran Islam.[27]
Islam sebagai penutup agama-agama
samawi, maka pemahaman yang mendasar tentang hakikat Islam sangatlah penting.
Hal ini agar kita mampu mendudukkan Islam benar-benar sebagai petunjuk Ilahi
yang diperuntukkan bagi manusia di bumi ini sebagai pengemban amanat
kekhalifahan dibawah naungan normativisme al-Qur'an dan Sunnah. Islam adalah
agama universal, yang mengakui agama-agama lainnya, karena agama-agama itu
berlandaskan ajaran kepasrahan dan keesaan Tuhan.[28]
IV. KESIMPULAN
Dari uraian diatas dapat
disimpulkan :
1.
Islam
normatif merupakan Islam pada dimensi sakral, Islam ideal atau yang seharusnya,
Islam sebagai realitas transendental, yang bersifat mutlak dan universal,
melampaui ruang dan waktu atau sering disebut sebagai realitas ke-Tuhan-an.
Sedangkan islam historis merupakan islam yang tidak bisa dilepaskan dari
kesejarahan dan kehidupan manusia yang berada dalam ruang dan waktu, Islam yang
senyatanya, yang terangkai oleh konteks kehidupan pemeluknya, dan berada di
bawah realitas ke-Tuhan-an.
2.
Terlepas dari
pengelompokan Islam normatif dan historis kedalam berbagai kajian. Yang
terpenting untuk dipahami adalah keduanya memiliki hubungan timbal balik.
Hubungan diantara keduanya dapat berbentuk dialektis maupun ketegangan. Perlu
kiranya dikaji dan ditelaah ulang secara kritis-analitis-akademis dan sekaligus
dialektis sesuai dengan kaidah keilmuan historis-empiris pada umumnya. Dengan
demikian hubungan antara keduanya terasa hidup, segar, terbuka, dan dinamis.
3.
Ajaran Islam
mengalami pertumbuhan dan perkembangan sepanjang sejarahnya, sehingga
mewujudkan dan membentuk suatu sistem kebudayaan serta peradaban yang lengkap
dan sempurna secera dinamis, meliputi seluruh aspek kehidupan manusia. Dalam
wujud peradaban demikian manusia akan mendapatkan kehidupan yang aman, tentram,
damai dan sejahtera, itulah kehidupan Islam yang universal dan dinamis
sebagaimana yang dibawa oleh Nabi Muhammad
DAFTAR PUSTAKA
Abuddin Nata, Peta Keragaman
Pemikiran Islam di Indonesia, Jakarta : PT Raja Grafindo,2001.
Adian Husaini, Virus Liberalisme di
Perguruan Tinggi Islam, Jakarta : Gema Insani Press, 2009.
Amin Abdullah, Islamic Studies di
Perguruan Tinggi : Pendekatan Integratif-Interkonektif, Yogyakarta :
Pustaka Belajar, 2010.
_______, Studi Agama : Normativitas
atau Historisitas ?, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996.
Khoiruddin
Nasution, Pengantar Studi Islam, Yogyakarta : ACAdeMIA+ TAZZAFA, 2009.
Muhaimin
et-al, Kawasan dan Wawasan Studi Islam, Jakarta : Kencana, 2005.
Nurcholis
Majid, Islam Universal, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2007.
Suparman Syukur, Epistimologi Islam
Skolastik : Pengaruhnya pada Pemikiran Islam Modern, Yogyakarta : Pustaka
Pelajar, 2007
[1] Abuddin
Nata, Peta Keragaman Pemikiran Islam di Indonesia, Jakarta : PT Raja
Grafindo,2001, hlm.28
[2] Amin
Abdullah, Studi Agama : Normativitas atau Historisitas ?, Yogyakarta :
Pustaka Pelajar, 1996,hlm. v
[4] Amin
Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi : Pendekatan
Integratif-Interkonektif, Yogyakarta : Pustaka Belajar, 2010, hlm. 52
[9] Khoiruddin
Nasution, Pengantar Studi Islam,hlm. 16
[12]Khoiruddin
Nasution, Pengantar Studi Islam,hlm. 20
[13]Khoiruddin
Nasution, Pengantar Studi Islam,hlm.21
[15] Suparman
Syukur, Epistimologi Islam Skolastik : Pengaruhnya pada Pemikiran Islam
Modern, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2007,hlm.158
[16] Suparman
Syukur, Epistimologi Islam Skolastik : Pengaruhnya pada Pemikiran Islam
Modern, hlm.159
[17] Suparman
Syukur, Epistimologi Islam Skolastik : Pengaruhnya pada Pemikiran Islam
Modern, hlm.160
[19] Suparman
Syukur, Epistimologi Islam Skolastik : Pengaruhnya pada Pemikiran Islam
Modern, hlm. 161
[21] Suparman
Syukur, Epistimologi Islam Skolastik : Pengaruhnya pada Pemikiran Islam
Modern,hlm. 162
[28] Suparman
Syukur, Epistimologi Islam Skolastik : Pengaruhnya pada Pemikiran Islam
Modern, hlm.v
Lengkap banget pembahasannya. Tapi Kayaknya ada yang kurang. Coba baca artikel ini Studi Islam Normativitas Dan Historisitasnya
BalasHapus