Senin, 30 Mei 2016

ISLAM NORMATIF DAN HISTORIS

I.     PENDAHULUAN
       Agama pada awalnya berupa teks Tuhan, turun kedalam kehidupan umat manusia untuk menuntun manusia menjalani kehidupan yang sesuai dengan nilai, aturan, dan etika yang telah digariskan Tuhan. Seiring dengan berakhirnya masa kerasulan Muhammad SAW, tidak berarti studi tentang agama terhenti begitu saja. Perbincangan dan studi  mengenai agama seolah tidak pernah selesai dan usang dimakan zaman.
      Perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan, termasuk perkembangan ilmu-ilmu sosial kemasyarakatan yang begitu pesat relatif mempercepat jarak perbedaan budaya antara satu wilayah dan wilayah yang lain. Hal demikian pada gilirannya juga berpengaruh cukup besar terhadap kesadaran manusia tentang apa yang disebut fenomena agama. Studi agama untuk era sekarang tidak lagi dapat didekati dan dipahami hanya lewat pendekatan teologis-normatif semata. Akan tetapi, perlu juga memperhatikan aspek historis-empiris-kritis.
            Ketika melakukan studi/penelitian tentang agama Islam, perlu lebih dahulu ada kejelasan Islam pada level mana yang akan diteliti. Maka penyebutan Islam normatif dan historis adalah salah satu dari penyebutan level tersebut. Untuk memahami seperti apakah Islam normatif dan historis, akan lebih lanjut dipaparkan dalam makalah ini.

II.  PERMASALAHAN
A. Apa pengertian Islam Normatif?
B. Apa pengertian Islam Historis?
C. Bagaimanakah Pengelompokan Islam Normatif?
D. Bagaimanakah membangun Universalisme Islam?


III.PEMBAHASAN
A. Pengertian Islam Normatif
Normatif berasal dari kata norm yang berarti norma, ajaran, acuan, ketentuan tentang masalah yang baik dan buruk, yang oleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan. Dalam hubungan ini kata norma erat kaitannya dengan akhlaq, yaitu perbuatan yang muncul dengan mudah dari kesadaran jiwa yang bersih dan dilakukan atas kemauan sendiri, bukan berpura-pura dan bukan pula paksaan. Selanjutnya karena akhlaq merupakan inti dari agama, bahkan inti dari ajaran al-Qur'an, maka norma sering diartikan pula agama. [1]
Islam normatif adalah Islam sebagai wahyu dan pada dimensi sakral yang diakui adanya realitas transendetal yang bersifat mutlak dan universal, melampaui ruang dan waktu atau sering disebut realitas ke-Tuhan-an. Sebagai wahyu, Islam didefinisikan sebagaimana ditulis di bawah ini:

وحي الهي يوحي الي نبينا محمد ص ع لسعا دة الدنيا والاخرة

Artinya:  wahyu Ilahi yang diwahyukan kepada nabi Muhammad SAW untuk kebahagiaan kehidupan dunia dan akhirat.
             Islam normatif diidentikkan dengan syari’at dan wahyu. Syari’at dari segi istilah didefinisikan oleh Mustafa Ahmad Al-Zarqa adalah kumpulan perintah dan hukum-hukum yang berkaitan dengan kepercayaan (iman dan Ibadah) dan hubungan kemasyarakatan (mu’amalah) yang diwajibkan oleh Islam untuk diaplikasikan dalam kehidupan guna mencapai kemaslahatan masyarakat. Sementara wahyu  adalah wahyu Allah yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW, untuk kebahagiaan manusia didunia dan di akhirat.
             Sebagaimana definisi diatas, normativitas ajaran wahyu dibangun, diramu, dibakukan dan ditelaah lewat berbagai suatu pendekatan doktrinal teologis.[2] Oleh karena itu, Islam normatif adalah Islam ideal yang mengacu kepada ketentuan-ketentuan didalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
                        
B. Pengertian Islam Historis
             Islam historis  atau Islam sebagai produk sejarah adalah Islam yang dipahami dan Islam yang dipraktekan kaum muslim di seluruh dunia, mulai dari masa nabi Muhammad SAW sampai sekarang.[3]
            Sementara olek Lakatos Islam historis merupakan domain yang disebut dengan “protektivebelt” yakni domain utama dari apa yang disebut sebuah ilmu, sistem pengetahuan yang secara langsung dapat di nilai, di uji ulang, diteliti, dipertanyakan, direformasikan ulang dan dibangun kembali. Kajian Islam historis menekankan Islam sebagai agama yang berevolusi(envolving religion), agama yang berubah dari waktu ke waktu, sesuai dengan tuntunan zaman dan tempat.[4]
Dalam pemahaman kajian Islam historis, tidak ada konsep atau hukum Islam yang bersifat tetap. Semua bisa berubah. Mereka berprinsip bahwa pemahaman hukum Islam adalah produk pemikiran para ulama yang muncul karena konstruk sosial tertentu. 
            Islam historis merupakan unsur kebudayaan yang dihasilkan oleh setiap pemikiran manusia dalam interpretasi atau pemahamannya terhadap teks, maka Islam pada tahap ini terpengaruh bahkan menjadi sebuah kebudayaan. Dengan semakin adanya problematika yang semakin kompleks, maka kita yang hidup pada era saat ini harus terus berjuang untuk menghasilkan pemikiran-pemikiran untuk mengatasi problematika kehidupan yang semakin kompleks sesuai dengan latar belakang kultur dan sosial yang melingkupi kita, yaitu Indonesia saat ini. Kita perlu pemahaman kontemporer yang terkait erat dengan sisi-sisi kemanusiaan-sosial-budaya yang melingkupi kita.
                        Perbedaan dalam melihat Islam yang demikian itu dapat menimbulkan perbedaan dalam menjelaskan Islam itu sendiri. Islam dilihat dari sudut historis atau sebagaimana yang nampak dalam masyarakat, maka Islam tampil sebagai sebuah disiplin ilmu (Islamic Studies).
Sejarah atau historis adalah suatu ilmu yang di dalamnya dibahas berbagai peristiwa dengan memperhatikan unsur tempat, waktu, obyek, latar belakang, dan pelaku dari peristiwa tersebut. Menurut ilmu ini segala peristiwa dapat dilacak dengan melihat kapan peristiwa itu terjadi, di mana, apa sebabnya, siapa yang terlibat dalam peristiwa tersebut.
Melalui pendekatan sejarah seorang diajak untuk beranjak dari alam idealis ke alam yang bersifat empiris dan mendunia. Dari keadaan ini seseorang akan melihat adanya kesenjangan atau keselarasan antara yang terdapat dalam alam idealis dengan yang ada di alam empiris dan historis. Pendekatan kesejarahan ini amat dibutuhkan dalam memahami agama, karena agama itu sendiri turun dalam situasi yang konkret bahkan berkaitan dengan kondisi social kemasyarakatan.

C. Pengelompokan Islam Normatif dan Historis
Hubungan antara Islam normatif dan historis dapat membentuk hubungan dialektis dan ketegangan. Hubungan Dialektis terjadi jika ada dialog bolak-balik yang saling menerangi antara teks dan konteks. sebaliknya akan terjadi hubungan ketegangan jika salah satu menganggap yang lain sebagai ancaman.
Wilayah normatif ajaran agama Islam menyatu dalam praktek keseharian wilayah sejarah kemanusiaan Nabi Muhammad  SAW. Dalam konsepsi Islam, tidak dikenal dunia “idea” Plato atau sommum bonum ( kebaikan tertinggi) yang terlepas jauh dan tidak terkait sama sekali denga historitas kemanusiaan dalam kehidupan sehari-hari. Kebaikan tertinggi atau sommum bonum hanya dapat disebut demikian. Jika terinternalisasikan dan terimplementsikan dalam kehidupan keseharian seseorang. Hanya perbedaan intensitas, kedalaman penghayatan, barangkali, yang membedakan antara yang satu dari yang lain. Untuk itu, al-Qur'an memberi batasan yang sangat universal, dengan menyebut bahwasanya orang-orang yang paling mulia-dalam artian  sommum bonum di atas- dihadapan Tuhan adalah orang yang paling kuat intesitas kedalam taqwanya dihadapan Tuhan, ketika mereka harus mengarungi wilayah perjuangan kehidupan di muka bumi.[5]
Pergumulan antara historisitas dan normativitas, sebenarnya dimulai sejak awal kehidupan kemanusiaan itu lahir, yang kemudian tersimbolkan dalam perjuangan dan sejarah hidup Nabi Muhammad dan para Nabi sebelumnya. Para pemerhati sejarah Islam sangat memahami kedudukan sentral Nabi Muhammad sebagai makhluk historis, yang selalu berhadapan dengan beberapa pilihan tata nilai yang bersifat pluralistik. Bahkan jika ditilik secara lebih tajam ayat-ayat al-Qur'an yang mengilhami manusia muslim untuk berperilaku dan bertindak di bumi, menurut Prof. Arkoun, adalah bersifat Zamkany (zaman dan makan) yakni selalu melibatkan dimensi historisitas ruang dan waktu. Asbab al-Nuzul ( sebab-sebab turunnya al-Qur'an) tidak lain dan tidak bukan adalah dimensi historisitas al-Qur'an, dimana fundamental values selau ada dibelakangnya. Tidak ada alasan untuk mengeliminir kenyataan ini, sehingga dengan demikian konsepsi sommum bonum yang sama sekali terlepas dari historisitas kemanusiaan seorang Muslim adalah sangat naif untuk dipertahankan.[6] Untuk itu faktor keteladanan yang bersifat historis- empiris dalam diskursus keberagamaan Islam pada khususnya memang lebih diutamakan daripada konsepsi teo-filosofis yang transedental.
Menentukan bentuk hubungan yang pas antara keduanya adalah merupakan separuh jalan untuk mengurangi ketegangan antara kedua corak pendekatan tersebut. Ketegangan bisa terjadi, jika masing-masing pendekatan saling menegaskan eksistensi dan menghilangkan manfaat nilai yang melekat pada pendekatan keilmuan yang dimiliki oleh masing-masing tradisi keilmuan.
Amin Abdullah memaparkan, hubungan antara keduanya adalah ibarat sebuah koin dengangan dua permukaan.[7] Hubungan antara keduanya tidak dapat dipisahkan, tetapi secara tegas dan jelas dapat dibedakan. Hubungan keduanya tidak berdiri sendiri-sendiri dan berhadap-hadapan, tetapi keduanya teranyam, terjalin dan terajut sedemikian rupa sehingga keduanya menyatu dalam satu keutuhan yang kokoh dan kompak. Makna terdalam dan moralitas keagamaan tetap ada, tetap dikedepankan dan digaris bawahi dalam memahami liku-liku fenomena keberagaman manusia, maka ia secara otomatis tidak bisa terhindar dari belenggu dan jebakan ruang dan waktu.
Dalam pandangan Islam normatif kemurnian Islam dipandang secara tekstual berdasarkan Alqur’an dan Hadits. Kajian Islam normative melahirkan tradisi teks : tafsir, teologi, fiqh, tasawuf, filsafat.
1.   Tafsir            : tradisi penjelasan dan pemaknaan kitab suci
2.   Teologi         : tradisi pemikiran tentang persoalan ketuhanan
3.   Fiqh              : tradisi pemikiran dalam bidang yurisprudensi (tata hukum)
4.   Tasawuf        : tradisi pemikiran dan laku dalam pendekatan diri padaTuhan
5.   Filsafat          : tradisi pemikiran dalam bidang hakikat kenyataan, kebenaran dan kebaikan [8]
              Sementara itu, dalam pemahaman kajian Islam historis, tidak ada konsep atau hukum Islam yang bersifat tetap semua bisa berubah. Kaum historis memiliki pemahaman tentang hukum Islam yang mana hukum Islam itu adalah produk dari pemikiran ulama yang muncul karena konstruk sosial tertentu. Dalam kajian Islam historis ditekankan aspek relitivitas pemahaman keagamaan. Pemahaman manusia terhadap ajaran agamanya adalah bersifat relatif dan terkait dengan konteks budaya social tertentu.
              Kajian Islam historis melahirkan tradisi atau disiplin studi empiris: antropologi agama, sosiologi agama, psikologi agama dan sebagainya.
1.   Antropologi agama  : disiplin yang mempelajari tingkah laku manusia beragama dalam hubungannya dengan kebudayaan
2.   Sosiologi agama       : disiplin yang mempelajari sistem relasi sosial masyarakat dalam hubungannya dengan agama
3.   Psikologi agama       : disiplin yang mempelajari aspek-aspek kejiwaan manusia dalam hubungannya dengan agama
Sejalan dengan pengelompokkan Islam normatif dan Islam historis diatas, ada pula ilmuwan yang membuat pengelompokkan lain. Misalnya, Nasr Hamid Abu Zaid mengelmpokkan menjadi tiga wilayah (domain).
        Pertama, wilayah text asli Islam (the original text of Islam). Yaitu al-Quran dan sunnah nabi Muhammad SAW yang otentik.
         Kedua, pemikiran Islam yang merupakan ragam menafsirkan terhadap teks asli Islam (al-Quran dan sunnah nabi Muhammad SAW.) dapat pula disebutkan hasil ijtihad terhadap teks asli Islam, seperti tafsir dan fiqih. Dalam kelompok ini dapat ditemukan dalam empat pokok cabang:
  1. Hukum atau fikih
  2. Teologi
  3. Filsafat
  4. Tasawuf
Ketiga, praktek yang dilakukan kaum muslim. Praktek ini muncul dalam berbagai macam dan bentuk sesuai dengan latar belakang sosial (konteks). Contoh diantaranya adalah praktek sholat muslim di Pakistan yang tidak meletakkan tangan di dada, sementara muslim Indonesia meletakkan tangan di dada. Contoh lain praktek duduk miring ketika takhiyat akhir bagi muslim Indonesia, sementara muslim di tempat/negara lain tidak melakukannya. Contoh lain di bidang ritual keagamaan, seperti memperingati kelahiran nabi Muhammad SAW juga bermacam-macam di kalangan muslim.[9]
Kemudian Abdullah Saeed juga menyebut tiga tingkatan pula :
Tingkatan pertama adalah nilai pokok/dasar/asas, keperrcayaan, ideal dan institusi-institusi. Terhadap tingkatan pertama ada persetujuan yang besar diantara kaum muslimin, seperti keesaan Allah, bahwa Muhammad SAW adalah utusan Allah, bahwa Al-Qur’an adalah wahyu Allah, bahwa wajib shalat lima waktu sehari semalam, puasa di bulan Ramadhan, membayar zakat, melakukan haji bagi yang mampu, bahwa hukum meminum-minuman yang memabukkan adalah dilarang.
Tingkatan kedua, penafsiran terhadap nilai dasar tersebut dapat dilaksanakan/ dipraktekkan. Dalam tingkatan ini ada perbedaan pendapat diklangan kaum muslimin. Misalnya, sentuhan yang membatalkan wudlu’. Ada ulama yang berpendapat sentuha yang membatalkan wudlu’ adalah semua sentuhan antara laki-laki perempuan yang sudah dewasa tetapi bukan tua-bangka. Sementara ulama lain berpendapat bahwa sentuhan yang membatalakn wudlu adalah kumpul suami dan istri.
Tingkatan ketiga adalah manifestasi atau praktek berdasarkan pada nilai-nilai dasar budaya. Misalnya warna dan model pakaian yang dipakai muslim untuk sholat yang beragam.[10]
Pengelompokan lain adalah oleh Ibrahim M. Abu Rabi'. Meskipun mencampurkan antara pelapisan dan pengelompokan. Ibrahim menetapkan empat yakni :
Pertama, Islam sebagai dasar ideologi atau filosofi. Maksud Islam pada dataran ideologi adalah landasan gerakan sekelompok orang, sekelompok komunitas dengan mengatasnamakan Islam. Maka pada tingkatan ini Islam identik dengan ideologi sosialis, ideologi kapitaslis, dan ideologi-ideologi sejenis lainnya.
Kedua, Islam sebagai dasar teologi. Sebagai dasar teologi, secara sederhana berarti berserah kepada satu Tuhan. Teologi dalam kamus Oxford A.P. Cowie adalah a formal study of natura of God and of the foundation of religion belief. Prinsipnya pada tingkatan inilah agama yang didefinisikan sebagai pengakuan terhadap adanya hubungan manusia dengan kekuatan gaib yang harus di patuhi, pengakuan terhadap adanya kekuatan gaib yang menguasai manusia. Pendeknya adanya pengakuan pada kekuatan super natural dan gaib diluar kekuatan dan kekuasaan manusia.[11]
Ketiga, Islam pada level teks, yakni teks asli sumber ajaran Islam berupa al-Qur'an dan sunnah Nabi Muhammad SAW. Yang terakhir, Islam pada level praktek. Dalam tingkatan ini, praktek yang dilakukan kaum Muslim sepanjang sejarah muslim dalam berbagai macam latar belakang sosial, budaya dan tradisi.
Munculnya pengelompokan (level) Islam yang berbeda sperti tersebut diatas dilatari oleh perbedaan konteks dan kepentingan pemikir yang menjelaskan. Nasr hamid Abu Zaid mengelompokkan untuk domain studi Islam. Sementara Abdullah Saeed dalam konteks untuk menjelaskan ada ajaran pokok yang disepakati, ada pula ajaran sebgai ijtihad dan praktek yang muncul perbedaan. Demikian juga Abu Rabi' misalnya mengelompokkan berdasarkan dan untuk kepentingan penjelasan hubungan agama-agama, dimana ada kesamaan ditingkat tertentu.
Untuk kepentingan pembahasan dan analisis, dalam tulisan ini lebih tepat menggunakan teori yang mengelompokkan Islam menjadi tiga level :
Pertama, Islam pada level teks asli berupa al-Qur'an dan sunnah Nabi Muhammad SAW yang otentik. Pada level ini dapat disebut kaum muslimin diseluruh dunia, mempunyai al-Qur'an dan sunnah yang sama.
Kedua, Islam pada level pemahaman atau penafsiran terhadap teks asli ( hasil ijtihad). Pada level ini Islam dapat pula disebut Islam sebagai hasil/produk pemikiran/ijtihad. Pada level ini penafsiran dan pemahaman muncul banyak sekali.
Ketiga, Islam pada level praktek muslim dalam kehidupan nyata sesuai dengan latar belakang historis, budaya dan tradisi masing. [12]
Pada level teks, sebagaimana telah ditulis sebelumnya, Islam didefinisikan sebagai wahyu. Pada dataran ini, Islam identik dengan nash wahyu atau teks yang ada dalam al-Qur'an dan sunnah Nabi Muhammad. Pada level teks ini Islam, sesuai dengan pendapat sejumlah ilmuwan (ulama) dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni :
1.   Nash prinsip atau normatif-universal
2.   Nash praktis-temporal
Nash kelompok pertama, nash prinsip atau normatif universal, merupakan prinsip-prinsip yang dalam aplikasinya sebagian telah diformatkan dalam bentuk nash praktis di masa perwahyuan ketika Nabi masih hidup.
Adapun nash praktis temporal, sebagian ilmu pengetahuan menyebutnya nash kontekstual adalah nash yang turun untuk menjawab secara langsung terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat muslim Arab ketika masa perwahyuan. Pada kelompok ini pula Islam dapat menjadi fenomena sosial atau Islam aplikatif atau Islam praktis.[13]
Islam sebagai praktek adalah Islam yang dipraktekkan Muslim sebgai jawaban terhadap persoalan yang muncul dalam kesehariannya sebagai penganut agama Islam. Maka pada level ini terjadi akulturasi antara pemahaman dengan adat yang berlaku dalam masyarakat.[14]
Berdasar pembagian level diatas dapat kita liat bahwa memahami kitab suci (misalnya Alquran) tidak bisa dilepaskan dari konteks historisnya, dan tak berhenti pada teksnya saja. Teks harus diinterprestasikan berdasar konteks dari turunnya teks. Melepaskan teks dari konteks historisnya mengakibatkan kita berhadapan dengan teks yang kosong, memahami teks hanya terbatas pada teks akan melahirkan pemahaman yang kering dan menjebak pada perdebatan linguistik semata dan akhirnya mengaburkan dimensi spiritualis yang melatar belakangi proses historis dari turunnya teks itu sendiri.

D.       Membangun Universalisme Islam
                        Sifat dan ciri-ciri ajaran Islam yang ditarik dan dipahami dari kumpulan berbagai argumentasi keagamaan, cukup banyak antara lain : (1) Rabbaniyah, (2) asy-Syumul (keumuman); al-Waqi'iyyah (berpijak pada kenyataan objektif manusia). Dari sifat  al-Waqi'iyyah,persoalan universalisme Islam dapat dipahami secara lebih jelas.
                Kalau kita menyadari bahwa fitrah (naluri) kemanusiaan merupakan sesuatu yang dimiliki oleh seluruh manusia, kapan dan dimana saja, maka itu berarti bahwa al-Qur'an mengklaim bahwa ajaran yang diperkenalkannya itu sesuai dengan seluruh umat manusia. Hanya saja disisi lain ada pula suatu kenyataan yang tidak dapat dihindari oleh manusia itu, yakni adanya perbedaan yang diakibatkan oleh waktu dan tempat, maupun oleh massing-masing pribadi manusia. Sifat redaksi al-Qur'an merupakan salah satu faktor yang dapat menumbuhsuburkan perbedaan-perbedaan ini.[15]
        Waqi'iyyah ajaran Islam tercermin dalam petunjuknya yang rinci dan global. Keduanya didasarkan pada fitrah manusia, yakni :
1.    Apabila fitrah manusia dalam hal yang berkaitan dengan materi, petunjuknya tidak akan mengalami perubahan, maka al-Qur'an menghadirkan petunjuk-petunjuk yang rinci, seperti dalam hal hukum-hukum perkawinan. Seorang anak atau saudara, selama mereka normal, tidak mungkin akan memiliki birahi terhadap ibu dan saudaranya. Demikian pula dalam rincian persoalan metafisika yang tidak mungkin akan dijangkau rinciannya oleh nalar manusia. Karena itu dalam hal ini, sifat redaksi ayat-ayat cenderung bersifat qath'iyyu ad-dilalah dan jika demikian halnya tentu ia pun akan bersifat universal.    
2.    Apabila petunjuk-petunjuk dimaksud berkaitan dengan kemampuan manusia berkaitan dengan kemapuan manusia untuk menjabarkannya lebih jauh, atau berkaitan dengan adanya kemungkinan perubahan-perubahan dalam pandangan manusia, maka ketika itu, petunjuknya selalu dapat menemukan interpretasi yang berbeda, agar ayat-ayat tersebut dapat menampung setiap perbedaan yang yang diakibatkan oleh penalaran yang sehat.[16]
                 Dari sini, diantara para ulama kontemporer memperkenalkan istilah i'lmiyat al-Islam, artinya terdapat ajaran-ajaran yang berbeda antara satu wilayah denga wilayah lain, akibat perbedaan kondisi, situasi, sejarah, dan penalaran ulama-ulama setempat. Jika demikian halnya, maka kita dapat menghindar dari pengakuan tentang adanya ajaran Islam yang bersifat partikular, sebagaimana ada juga yang bersifat universal.[17]
                 Universalisme Islam menampakkan diri dalam berbagai manifestasi penting dan yang terbaik adalah dalam ajaran-ajarannya. Rangkaian ajaran yang meliputi berbagai bidang, seperti hokum agama (fiqh), keimanan (tauhid), etika (akhlak, sering kali disempitkan oleh masyarakat hingga menjadi hanya kesusilaan belaka) dan sikap hidup, menampilkan kepedulian yang sangat besar kepada unsur-unsur utama dari kemanusiaan (al-insaniyyah). Prinsip-prinsip seperti persamaan derajat di muka hukum, perlindungan warga masyarakat dari kezaliman dan kesewenang-wenangan, penjagaan hak-hak mereka yang lemah dan menderita kekurangan dan pembatasan atas wewenang para pemegang kekuasaan, semuanya jelas menunjukkan kepedulian di atas.[18] Sementara itu, universalisme yang tercermin dalam ajaran-ajaran yang memiliki kepedulian kepada unsur-unsur utama kemanusiaan itu diimbangi pula oleh kearifan yang muncul dari keterbukaan peradaban Islam sendiri.
Kearifan yang muncul dari keterbukaan peradaban Islam, seharusnya dipakai sebagai landasan memahami kitab suci Alqur'an, khususnya berkenaan dengan kata-kata al-Islam dan segenap derivasinya, seperti kata-kata muslim sebagai kata benda pelaku (participle) atau kata sifat dari Islam, dan seterusnya.[19] Pada hakikatnya semua pengertian yang dikandung kata Islam menunjukkan pengertian umum yang mendasar dan lengkap, serta menuju kepada yang satu yaitu penyerahan diri atau pasrah kepada Tuhan.[20] Sikap pasrah kepada Tuhan itu merupakan hakikat dari seluruh alam, seluruh ciptaan Tuhan baik dari benda hidup maupun benda mati selalu ta'at dan pasrah kepada-Nya. Dengan sikap yang demikian akan mewujudkan kedamaian, keselamatan, kesejahteraan, serta kesempurnaan hidup lahir batin dunia akhirat.Inilah yang mmenjadi dasar adanya keteraturan dan predictability pada hukum Islam sampai batas yang amat jauh, sehingga dapat dipedomani (kemudian digunakan) oleh manusia melalui pemahamannya akan hukum-hukum itu (ilmu pengetahuan). Dengan demikian Islam yang sesuai dengan fitrah manusia sangat menjunjung tinggi urgensi ilmu pengetahuan.[21]
Al-Islam  menjadi landasan universal kehidupan manusia, berlaku untuk setiap orang, setiap tempat dan  waktu. Oleh karena itu, al-Islam merupakan titik temu semua ajaran yang benar, maka diantara penganut yang tulus akan ajaran itu pada prinsipnya harus dibuna hubungan dan pergaulan yang sebaik-baiknya. Kecuali dalam keadaan terpaksa, seperti jika salah satu dari mereka bertindak zalim kepada yang lain. Sikap ini terutama diamanatkan kepada para pengikut Nabi Muhammad, Rasul Allah yang terakhir. Kenapa? Karena salah satu tujuan dan fungi umat Muhammad ini adalah sebgai penengah (wasit) antara sesama manusia, serta sebagai saksi atas seluruh kemanusiaan.
Keterbukaan membuat kaum muslim selama sekian abad menyerap segala macam menifestasi kultural dan wawasan keilmuan yang datang  dari pihak peradaban-peradaban lain, baik yang masih ada waktu itu maupun yang sudah mengalami penyusutan luar biasa (seperti peradaban Persia). Kearifan yang muncul dari proses saling mempengaruhi antara peradaban-peradaban yang dikenal itu, waktu itu di kawasan “Dunia Islam” waktu itu, yang kemudian mengangkat peradaban Islam ke tingkat sangat tinggi, hingga menjadi apa yang disebutkan sejarawan agung Arnold J. Toynbee sebagai oikumene (peradilan dunia) Islam. Oikumene Islam ini, menurut Toynbee, adalah salah satu di antara enam belas oikumene yang menguasai dunia. Kearifan dari oikumene Islam itulah yang paling tepat untuk disebut sebagai kosmopolitanisme peradaban Islam. Kisah kedua wajah Islam itu, universalisme ajaran dan kosmopolitanisme peradaban akan disajikan pada kesempatan ini.
Salah satu ajaran yang dengan sempurna menampilkan universalisme Islam adalah lima buah jaminan dasar yang diberikan agama samawi terakhir ini kepada warga masyarakat baik secara perorangan maupun sebagai kelompok. Kelima jaminan dasar itu tersebar dalam literature hukum agama (al-kutub al fiqhiyyah) lama, yaitu jaminan dasar akan (1) keselamatan fisik warga masyarakat dari tindakan badani di luar ketentuan hukum, (2) keselamatan keyakinan agama masing-masing, tanpa ada paksaan untuk berpindah agama, (3) keselamatan keluarga [22]dan keturunan, (4) keselamatan harta benda dan milik pribadi di luar prosedur hukum, dan (5) keselamatan profesi. Jaminan akan keselamatan fisik warga masyarakat mengharuskan adanya pemerintahan berdasarkan hukum, dengan perlakuan adil kepada semua warga masyarakat tanpa kecuali, sesuai dengan hak masing-masing. Hanya dengan kepastian hukumlah sebuah masyarakat mampu mengembangkan wawasan persamaan hak dan derajat antara sesama warganya, sedangkan kedua jenis persamaan itulah yang mmenjamin terwujudnya keadilan social dalam arti sebenar-benarnya. Sedangkan kita ini mengetahui, bahwa pandangan hidup (Worldview, Weltanschauung) paling jelas universalitasnya adalah pandangan keadilan social.
Demikian juga, jaminan dasar akan keselamatan keyakinan agama masing-masing bagi para warga masyarakat melandasi hubungan antar-warga masyarakat atas dasar sikap saling hormat, yang akan mendorong tumbuhnya kerangka sikap tenggang rasa dan saling pengertian yang besar. Terlepas dari demikian kentalnya perjalanan sejarah dengan penindasan, kesempitan pandangan dan kezaliman terhadap kelompok minoritas yang berbeda keyakinan agamanya dari keyakinan mayoritas, sejarah umat manusia membuktikan bahwa sebenarnya toleransi adalah bagian inherent dari kehidupan manusia. Sejarah persekusi dan represi adalah sejarah ”orang besar”, walaupun sasarannya selalu “orang kecil”. Dalam menerima persekusi dan represi tanpa keputusan wong cilik membuktikan kekuatan toleransi dan sikap tenggang rasa dalam membangun masyarakat.[23] Justru toleransilah yang melakukan transformasi social dalam skala massif sepanjang sejarah. Bahkan sejarah agama membuktikan munculnya agama sebagai dobrakan moral atas kungkungan ketat dari pandangan yang dominan, yang berwatak menindas, seperti dibuktikan oleh Islam dengan dobrakannya atas ketidakadilan wawasan hidup jahiliyah yang dianut mayoritas orang arab waktu itu. Dengan tauhid, Islam menegakkan penghargaan kepada perbedaan pendapat dan perbenturan keyakinan. Jika perbedaan pandangan dapat ditolerir dalam hal paling mendasar seperti keamanan, tentunya sikap tenggang rasa lebih lagi diperkenankan dalam mengelola perbedaan pandangan politik dan ideology. Tampak nyata dari tilikan aspek ini, bahwa Islam melalui ajarannya memiliki pandangan universal, yang berlaku untuk umat manusia secara keseluruhan.
Jaminan dasar akan keselamatan keluarga menampilkan sosok moral yang sangat kuat, baik moral dalam arti kerangka etis yang utuh maupun dalam arti kesusilaan. Kesucian keluarga dilindungi sekuat mungkin, karena keluarga merupakan ikatan sosial paling dasar, karenanya tidak boleh dijadikan ajang manipulasi dalam bentuk apapun oleh sistem kekuasaan yang ada. Kesucian keluarga inilah yang melandasi keimanan yang memancarkan toleransi dalam derajat sangat tinggi. Dalam kelompok masyarakat lebih besar, selalu terdapat kecenderungan untuk melakukan formalisasi ajaran secara berlebihan, sehingga menindas kebebasan individu untuk menganut kebenaran, kelompok supra-keluarga senantiasa mncoba menghilangkan, atau setidak-tidaknya mempersempit,[24] ruang gerak individu warga masyarakat untuk melakukan eksperimentasi dengan pandangan hidupnya sendiri, dan untuk menguji garis batas kebenaran keyakinan. Padahal upaya melakukan uji coba seperti itulah yang akan menajamkan kebenaran masing-masing keyakinan pandangan maupun pemahaman. Islam memberikan kebebasan untuk melakukan upaya perbandingan antara berbagai keyakinan, termasuk keimanan kita, dan dalam proses itu membuktikan keampuhan konsep keimanan sendiri. Di samping kebenaran yang dapat diraih melalui pengalaman esoteris, Islam juga memberikan peluang bagi pencapaian kebenaran melalui proses dialektis. Justru proses dialektis inilah yang memerlukan derajat toleransi sangat tinggi dari pemeluk suatu keyakinan, dan Islam memberikan wadah untuk itu, yaitu lingkungan kemasyarakatan terkecil yang bernama keluarga. Di lingkungan sangat kecil itulah individu dapat mengembangkan pilihan-pilihannya tanpa gangguan, sementara kohesi sosial masih terjaga karena keluarga berfungsi mengintegrasikan warganya secara umum ke dalam unit kemasyarakatan yang lebih besar.
Jaminan dasar akan keselamatan harta-benda(al-milk, property) merupakan sarana bagi berkembangnya hak-hak individu secara wajar dan proposional, dalam kaitannya dengan hak-hak masyarakat atas individu. Masyarakat dapat menentukan kewajiban-kewajiban yang diinginkan secara kolektif atas masing-masing individu warga masyarakat. Tetapi penetapan kewajiban itu ada batas terjauhnya, dan warga masyarakat secara perorangan tidak dapat dikenakan kewajiban untuk masyarakat lebih dari batas-batas tersebut.[25] Batas paling praktis, dan paling nyata jika dilihat dari perkembangan Sosialisme dan terutama Marxisme-Leninisme saat ini, adalah pemilikan harta-benda oleh individu. Dengan hak itulah warga masyarakat secara perorangan memiliki peluang dan sarana untuk mengembangkan diri melalui pola atau cara yang dipilihnya sendiri, namun tetap dalam alur umum kehidupan masyarakat. Sejarah umat manusia menunjukkan bahwa hak dasar akan pemilikan harta benda inilah yang menjadi penentu kreativitas warga masyarakat, berarti kesediaan melakukan transformasi itulah warga masyarakat memperlihatkan wajah universal kehidupannya?
Jaminan dasar akan keselamatan profesi menampilkan sosok lain lagi dari universalitas ajaran Islam. Penghargaan kepada kebebasan penganut profesi berarti kebebasan untuk melakukan pilihan-pilihan atas risiko sendiri, mengenai keberhasilan yang ingin diraih dan kegagalan yang membayanginya. Dengan ungkapan lain, kebebasan menganut profesi yang dipilih berarti peluang menentukan arah hidup lengkap dengan tanggung jawabnya sendiri. Namun pilihan itu tetap dalam kerangka alur umum kehidupan masyarakat, karena pilihan profesi berarti meletakkan diri dalam alur umum kegiatan masyarakat, yang penuh dengan ukuran-ukurannya sendiri. Ini berarti keseimbangan cair yang harus terus-menerus dicari antara hak-hak individu dan kebutuhan masyarakat, sebuah kondisi situasional yang serba eksistensial sebagai wadah untuk menguji kebenaran keyakinan dalam rangkaian kejadian yang tidak terputus-putus: bolehkah saya lakukan hal ini dari sudut pandangan keimanan saya,[26] padahal diharuskan oleh profesi saya? Rasanya tidak ada yang lebih universal dari pencarian jawaban akan wujud kebenaran dalam rangkaian kejadian seperti disajikan oleh tantangan dari dunia profesi itu.
Secara kesuruhan, kelima jaminan dasar di atas menampilkan universalitas pandangan hidup yang utuh dan bulat. Pemerintahan berdasarkan hukum, persamaan derajat dan sikap tenggang rasa terhadap perbedaan pandangan adalah unsur-unsur utama kemanusiaan, dan dengan  demikian menampilkan universalitas ajaran Islam.[27]
Islam sebagai penutup agama-agama samawi, maka pemahaman yang mendasar tentang hakikat Islam sangatlah penting. Hal ini agar kita mampu mendudukkan Islam benar-benar sebagai petunjuk Ilahi yang diperuntukkan bagi manusia di bumi ini sebagai pengemban amanat kekhalifahan dibawah naungan normativisme al-Qur'an dan Sunnah. Islam adalah agama universal, yang mengakui agama-agama lainnya, karena agama-agama itu berlandaskan ajaran kepasrahan dan keesaan Tuhan.[28]

IV. KESIMPULAN
Dari uraian diatas dapat disimpulkan :
1.     Islam normatif merupakan Islam pada dimensi sakral, Islam ideal atau yang seharusnya, Islam sebagai realitas transendental, yang bersifat mutlak dan universal, melampaui ruang dan waktu atau sering disebut sebagai realitas ke-Tuhan-an. Sedangkan islam historis merupakan islam yang tidak bisa dilepaskan dari kesejarahan dan kehidupan manusia yang berada dalam ruang dan waktu, Islam yang senyatanya, yang terangkai oleh konteks kehidupan pemeluknya, dan berada di bawah realitas ke-Tuhan-an.
2.     Terlepas dari pengelompokan Islam normatif dan historis kedalam berbagai kajian. Yang terpenting untuk dipahami adalah keduanya memiliki hubungan timbal balik. Hubungan diantara keduanya dapat berbentuk dialektis maupun ketegangan. Perlu kiranya dikaji dan ditelaah ulang secara kritis-analitis-akademis dan sekaligus dialektis sesuai dengan kaidah keilmuan historis-empiris pada umumnya. Dengan demikian hubungan antara keduanya terasa hidup, segar, terbuka, dan dinamis.
3.     Ajaran Islam mengalami pertumbuhan dan perkembangan sepanjang sejarahnya, sehingga mewujudkan dan membentuk suatu sistem kebudayaan serta peradaban yang lengkap dan sempurna secera dinamis, meliputi seluruh aspek kehidupan manusia. Dalam wujud peradaban demikian manusia akan mendapatkan kehidupan yang aman, tentram, damai dan sejahtera, itulah kehidupan Islam yang universal dan dinamis sebagaimana yang dibawa oleh Nabi Muhammad




DAFTAR PUSTAKA

Abuddin Nata, Peta Keragaman Pemikiran Islam di Indonesia, Jakarta : PT Raja Grafindo,2001.
Adian Husaini, Virus Liberalisme di Perguruan Tinggi Islam, Jakarta : Gema Insani Press, 2009.
Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi : Pendekatan Integratif-Interkonektif, Yogyakarta : Pustaka Belajar, 2010.
_______, Studi Agama : Normativitas atau Historisitas ?, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996.
Khoiruddin Nasution, Pengantar Studi Islam, Yogyakarta : ACAdeMIA+ TAZZAFA, 2009.
Muhaimin et-al, Kawasan dan Wawasan Studi Islam, Jakarta : Kencana, 2005.
Nurcholis Majid, Islam Universal, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2007.
Suparman Syukur, Epistimologi Islam Skolastik : Pengaruhnya pada Pemikiran Islam Modern, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2007



[1] Abuddin Nata, Peta Keragaman Pemikiran Islam di Indonesia, Jakarta : PT Raja Grafindo,2001, hlm.28
[2] Amin Abdullah, Studi Agama : Normativitas atau Historisitas ?, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996,hlm. v
[3] Khoiruddin Nasution, Pengantar Studi Islam, Yogyakarta : ACAdeMIA+ TAZZAFA, 2009,hlm. 15
[4] Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi : Pendekatan Integratif-Interkonektif, Yogyakarta : Pustaka Belajar, 2010, hlm. 52
[5] Amin Abdullah, Studi Agama : Normativitas atau Historisitas ?,hlm. 64
[6] Amin Abdullah, Studi Agama : Normativitas atau Historisitas ?,hlm. 65
[7] Amin Abdullah, Studi Agama : Normativitas atau Historisitas ?,hlm. vii
[8] Khoiruddin Nasution, Pengantar Studi Islam,hlm. 15
[9] Khoiruddin Nasution, Pengantar Studi Islam,hlm. 16
[10] Khoiruddin Nasution, Pengantar Studi Islam.,hlm.17
[11]  Khoiruddin Nasution, Pengantar Studi Islam,hlm. 19
[12]Khoiruddin Nasution, Pengantar Studi Islam,hlm. 20
[13]Khoiruddin Nasution, Pengantar Studi Islam,hlm.21
[14]  Khoiruddin Nasution, Pengantar Studi Islam,hlm. 23
[15] Suparman Syukur, Epistimologi Islam Skolastik : Pengaruhnya pada Pemikiran Islam Modern, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2007,hlm.158
[16] Suparman Syukur, Epistimologi Islam Skolastik : Pengaruhnya pada Pemikiran Islam Modern, hlm.159
[17] Suparman Syukur, Epistimologi Islam Skolastik : Pengaruhnya pada Pemikiran Islam Modern, hlm.160
[18] Nurcholis Majid, Islam Universal, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2007,hlm. 1
[19] Suparman Syukur, Epistimologi Islam Skolastik : Pengaruhnya pada Pemikiran Islam Modern, hlm. 161
[20]  Muhaimin et-al, Kawasan dan Wawasan Studi Islam, Jakarta : Kencana, 2005.hlm. 75
[21] Suparman Syukur, Epistimologi Islam Skolastik : Pengaruhnya pada Pemikiran Islam Modern,hlm. 162
[22] Nurcholis Majid, Islam Universal, hlm.2
[23] Nurcholis Majid, Islam Universal, hlm.3
[24] Nurcholis Majid, Islam Universal, hlm.4
[25]  Nurcholis Majid, Islam Universal, hlm. 5
[26]  Nurcholis Majid, Islam Universal, hlm. 6
                      [27] Nurcholis Majid, Islam Universal, hlm.7
[28] Suparman Syukur, Epistimologi Islam Skolastik : Pengaruhnya pada Pemikiran Islam Modern, hlm.v

1 komentar: