Senin, 30 Mei 2016

AJARAN TAREKAT DALAM SASTRA JAWA

AJARAN TAREKAT DALAM SASTRA JAWA


Tarekat yaitu artinya jalan, petunjuk dalam melakukan sesuatu ibadat sesuai dengan ajaran yang di tentukan dan di contohkan oleh Nabi dan di kerjakan oleh sahabat dan tabi’in, turun menurun ampi kepada guru-guru, sambung menyambung dan rantai-berantai. Adapun tujuan tarekat yaitu, ilmu pengetahuan sufi dan tasawwuf, bahwa mereka membagikan ilmu dan amal itu dalam empat tingkat, sesuai dengan fitrah dan perkembangan keyakinan manusia, yaitu syari’at, tarekat, hakikat dan ma’rifat. Syeikh najmuddin Al-kubra, dalam kitab “ Jami’ul auliya” (mesir, 1331 M), mengatakan syariat itu merupakan uraian, tarekat itu merupakan pelaksanaan, hakekat itu merupakan keadaan, dan ma’rifat merupakan tujuan pokok, yakni pengenalan Tuhan yang sebenar-benarnya. Oleh karena itu orang tidak dapat berhenti pada syari’at saja, mengambil tarekat atau hakekat saja. Tarekat itu lautan, hakekat itu mutiara, orang tidak dapat mencapai mutiara itu dengan tidak melalui kapal dan laut.[1]
Tidak di ragukan bahwa islam masuk ke nusantara melalui sentuhan taswuf. Ada banyak sumber sejarah yang menyatakan bahwa islamisasi di nusantara yang di lakukan oleh para da’I sufi yang memang memiliki kemampuan berdakwah  dengan model tasawuf yang menyejukan dan kontekstual.
Pada abad ke-16 dan 17, tarekat telah menjadi bagian penting di dalam kehidupan  masyarakat islam nusantara. Tarekat yang berkembang di abadi tersebut antara lain adalah tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, Syattariyah, Naqsyabandiyah, samaniyah dan alawiyah. Beberapa tarekat lain, seperti Tijaniyah baru berkembang pada abad ke-20. Tarekat Qadariyah wa Naqsyabandiyah berkembang sekitar tahun 1850-an berkat tokoh tasawuf asal Kalimantan yang bermukin da makkah, yaitu Syaikh Ahmad Khatib Sambasi. Beliau merupakan tokoh yang berhasil memadukan antara tarekat Qadariyah dan Naqsyabandiyah.
Di Indonesia, sebagaimana kajian Van Bruinessen maka tarekat yang paling banyak pengaruhnya dalah tarekat qadiriyah wa naqsyabandiyah. Tarekat ini memiliki penganut hampir di seluruh nusantara, pengaruh terbesar tentunya di Jawa.[2]
Tarekat Naqsyabandiyah di jawa:      


Semarang dan sekitarnya, daerah rembang-blora, daerah banyumas-purwokerto, daerah kebumen, daerah Cirebon, jawa timur bagian utara, jawa timur selatan: Kediri-blitar. Namun tarekat yang betul-betul yang punya pengaruh di kalangan etnis jawa di jawa timur adalah tarekat qadiriyah wa naqsyabandiyah.[3]
Islam datang ke Nusantara melalui pesisir dan kemudian masuk ke pedalaman. Itulah sebabnya ada anggapan bahwa Islam pesisir itu lebih dekat dengan Islam genuine yang disebabkan oleh adanya kontak pertama dengan pembawa islam. Meskipun Islam yang datang ke wilayah pesisir, sesungguhnya sudah merupakan Islam hasil konstruksi pembawanya, sehingga Islam yang pertama datang adalah Islam yang tidak murni. Terlepas dari teori kedatangan Islam ke Nusantara dari berbagai sumbernya, namun yang jelas bahwa Islam datang ke Nusantara ketika di wilayah ini sudah terdapat budaya yang berciri khas. Bukan suatu kebetulan bahwa kebanyakan wali (penyebar Islam) berada di wilayah pesisir. Sepanjang pantai utara Jawa dapat dijumpai makam para wali yang diyakini sebagai penyebar Islam. Di Jawa Timur saja, jika dirunut dari yang tertua ke yang muda, maka didapati makam Syeikh Ibrahim Asmaraqandi di Palang Tuban, Syeikh Malik Ibrahim di Gresik,  makam Sunan Ampel di Surabaya, makam Sunan Bonang di Tuban, makam Sunan Giri di Gresik, makam Sunan Drajad di Lamongan, makam Wali Lanang di Lamongan, makam Raden Santri di Gresik dan makam Syekh Hisyamudin di Lamongan. Secara geostrategis, bahwa para wali menjadikan daerah pesisir sebagai tempat mukimnya tidak lain adalah karena mudahnya jalur perjalanan dari dan ke tempat lain untuk berdakwah. Bisa dipahami sebab pada waktu itu jalur laut adalah jalur lalu lintas yang dapat menghubungkan antara satu wilayah dengan wilayah lain.
Pada komunitas pesisir, ada satu hal yang menarik adalah ketika di suatu wilayah terdapat dua kekuatan hampir seimbang, Islam murni dan Islam lokal, maka terjadilah tarikan ke arah yang lebih Islami terutama yang menyangkut  istilah-istilah, seperti slametan yang bernuansa bukan kesedihan berubah menjadi tasyakuran, misalnya slametan kelahiran, pindah rumah, mendapatkan kenikmatan lainnya, maka ungkapan yang digunakan bukan lagi slametan tetapi syukuran. Upacara memperingati kematian atau dulu disebut manganan kuburan sekarang diubah dengan ungkapan khaul. Nyadran  di Sumur sekarang berubah menjadi sedekah bumi. Upacara petik laut atau babakan di pantai disebut sedakah laut. Upacara babakan untuk menandai datangnya masa panen bagi para nelayan. Dari sisi substansi juga terdapat perubahan. Jika pada masa lalu upacara nyadran di sumur selalu diikuti dengan acara tayuban, maka sekarang dilakukan kegiatan yasinan, tahlilan dan pengajian. Sama halnya dengan upacara sedekah laut, jika dahulu hanya ada acara tayuban, maka sekarang ada kegiatan yasinan, tahlilan dan pengajian. Secara simbolik hal ini menggambarkan bahwa ada pergerakan budaya yang terus berlangsung dan semakin mendekati ke arah tradisi Islam.[4]
Suasana keagamaan yang berbeda tampak pada suatu wilayah yang kecenderungan umum pelakunya adalah kebanyakan penganut NU. Di desa-desa pesisir yang aliran keagamaannnya seperti itu, maka tampak bahwa pengamalan beragamanya cenderung masih stabil, yaitu beragama yang bercorak lokalitas. Jika terjadi perubahan pun kelihatannya sangat lambat. Akan tetapi satu hal yang pasti bahwa upacara-upacara di medan budaya –sumur dan makam—sudah berubah menjadi lebih islami. Hal itu juga tampak dari sederetan upacara ritual yang menampakkan wajah islam secara lebih dominan, meskipun hal itu merupakan penafsiran atau hasil konstruksi yang mempertimbangkan lokalitasnya.
Islam pedalaman pun menggambarkan wajah beragam varian-varian yang menonjol. Kajian Nakamura (1983) dan Mulkhan (1999) tentang Islam murni di wilayah pusatnya Jogyakarta maupun Islam murni di Wuluhan Jember tentunya merupakan gambaran varian Islam ketika berada di dalam lokus sosial budayanya. Pada Muhammadiyah sendiri terdapat empat tipe penggolongan orang Muhammadiyah di Wuluhan yang dilakukan oleh Mulkhan yaitu: (1)  Islam-Ikhlas yang lebih puris (2) Islam-Munu atau golongan Muhammadiyah-NU yang orientasinya kurang puris (3) Islam-Ahmad Dahlan yang tidak melakukan praktik bidh’ah tetapi membiarkan. dan (4) Islam-Munas atau Muhammadiyah-Nasionalisme yang tidak mengamalkan ajaran Islam atau disebut juga Marmud atau Marhaenis-Muhammadiyah. Semuanya karena Muhammadiyyah yang merupakan gerakan keagamaan anti takhayul, bid’ah dan churafat ketika berada di tangan kaum petani juga mengalami naturalisasi. Gerakan muhammadiyah belum tuntas, sehimgga muhammadiyah di tangan petani  memberikan gambaran bahwa belum semua orang muhammadiyah melakukan islam sebagaimana penafsiran para elitnya tentang islam.
Dalam banyak hal, Islam pedalaman memang menggambarkan corak varian yang bermacam-macam. Selain gambaran Muhammadiyah sendiri yang juga terdapat varian-varian pengamalan keagamaannya, maka di sisi lain juga menggambarkan watak keislaman yang sangat variatif. Corak Islam tersebut misalnya dapat dilihat dari semakin semaraknya tradisi-tradisi lokal di era pasca reformasi. Tradisi-tradisi yang pada masa lalu dianggap sebagai ritual, maka dewasa ini lebih dikemas sebagai festival-ritual. Artinya bahwa upacara ritual tersebut dilaksanakan dengan tetap mengacu kepada tradisi masa lalu, namun dikemas sebagai peristiwa festival yang bisa menghadirkan nuansa budaya dan ekonomi. Dalam banyak hal lain, tradisi Islam pesisir dan pedalaman memang tidaklah berbeda. Jika pun berbeda hanyalah pada istilah-istilah yang memang memiliki lokalitasnya masing-masing. Perbedaan ini tidak serta merta menyebabkan perbedaan substansi tradisi keberagamaannya. Substansi ritual hakikatnya adalah menjaga hubungan antara mikro-kosmos dengan makro-kosmos. Hubungan mana diantarai oleh pelaksanaan ritual yang diselenggarakan dengan corak dan bentuk yang bervariasi. Nyadran laut atau sedekah laut bagi para nelayan hakikatnya adalah upacara yang menandai akan datangnya masa panen ikan. Demikian  pula upacara wiwit dalam tradisi pertanian hakikatnya juga rasa ungkapan syukur karena penen padi akan tiba. Upacara lingkaran hidup juga memiliki pesan ritual yang sama. Upacara hari-hari baik dan intensifikasi hakikatnya juga memiliki pesan dan substansi ritual yang sama. Dengan demikian, kiranya terdapat kesamaan dalam tindakan rasional bertujuan atau in order to motive bagi komunitas petani atau pesisir dalam mengalokasikan tindakan ritualnya. Jika demikian halnya, maka perbedaan antara tradisi Islam pesisir dengan tradisi Islam pedalaman hakikatnya hanyalah pada struktur permukaan, namun dalam struktur dalamnya memiliki kesamaan. Atau dengan kata lain, substansinya sama meskipun simbol-simbol luarnya berbeda.[5]
Tarekat memang bukan hanya ajaran esoterisme saja, tetapi juga memiliki relasi dengan tradisi dalam budaya Nusantara dan lebih khusus budaya Jawa. Dapat dijumpai kelekatan ajaran tarekat dengan budaya dimaksud, prinsip ajaran dalam budaya Jawa juga terdapat di dalam ajaran tarekat, misalnya: jujur, adil, sabar, khouf, ikhtiar dan tawakkal, syukur, qanaah dan mahabbah. Prinsip ajaran ini tergambar di dalam tiga hal yan g sangat mendasar di dalam ajaran tarekat yaitu: takholli, tahalli dan tajalli. Di dalam prinsip ajaran takholli, maka manusia harus menjauhkan diri dari segala tindakan menjelekkan, yaitu nafsu amarah dan lawwamah harus diarahkan kepada nafsu mutmainnah dan radhiyah. Di dalam tahalli, maka manusia harus menghiasi diri dengan tindakan yang baik, dan di dalam tajalli, maka manusia harus berhias diri dengan cahaya ketuhanan.[6]



[1] Prof. Dr. H. Aboebakar Atjeh, Pengantar ilmu Tarekat, Ramadhani, Solo, 1985, hlm: 67-71
[2] Dr. H. Nur Syam, M.si., Tarekat Petani, PT. LKiS Printing Cemerlang,Yogyakarta, 2013, hlm: 25-26
[3] Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, Penerbit Mizan, Bandung, 1992, hlm: 162-178
[4] Dr. Nur Syam, Islam Pesisir, LkiS Yogyakarta, Yogyakarta, 2005, hlm: 25-59
[5] Abdul Munir Mulkhan, Islam Murni Pada Masyarakat Petani. Bentang Budaya, Jogjakarta, 1999, hlm: 143-150
[6]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar