AJARAN TAREKAT DALAM SASTRA JAWA
Tarekat
yaitu artinya jalan, petunjuk dalam melakukan sesuatu ibadat sesuai dengan
ajaran yang di tentukan dan di contohkan oleh Nabi dan di kerjakan oleh sahabat
dan tabi’in, turun menurun ampi kepada guru-guru, sambung menyambung dan
rantai-berantai. Adapun tujuan tarekat yaitu, ilmu pengetahuan sufi dan
tasawwuf, bahwa mereka membagikan ilmu dan amal itu dalam empat tingkat, sesuai
dengan fitrah dan perkembangan keyakinan manusia, yaitu syari’at, tarekat,
hakikat dan ma’rifat. Syeikh najmuddin Al-kubra, dalam kitab “ Jami’ul auliya”
(mesir, 1331 M), mengatakan syariat itu merupakan uraian, tarekat itu merupakan
pelaksanaan, hakekat itu merupakan keadaan, dan ma’rifat merupakan tujuan pokok,
yakni pengenalan Tuhan yang sebenar-benarnya. Oleh karena itu orang tidak dapat
berhenti pada syari’at saja, mengambil tarekat atau hakekat saja. Tarekat itu
lautan, hakekat itu mutiara, orang tidak dapat mencapai mutiara itu dengan
tidak melalui kapal dan laut.[1]
Tidak
di ragukan bahwa islam masuk ke nusantara melalui sentuhan taswuf. Ada banyak
sumber sejarah yang menyatakan bahwa islamisasi di nusantara yang di lakukan
oleh para da’I sufi yang memang memiliki kemampuan berdakwah dengan model tasawuf yang menyejukan dan
kontekstual.
Pada
abad ke-16 dan 17, tarekat telah menjadi bagian penting di dalam kehidupan masyarakat islam nusantara. Tarekat yang
berkembang di abadi tersebut antara lain adalah tarekat Qadiriyah wa
Naqsyabandiyah, Syattariyah, Naqsyabandiyah, samaniyah dan alawiyah. Beberapa
tarekat lain, seperti Tijaniyah baru berkembang pada abad ke-20. Tarekat
Qadariyah wa Naqsyabandiyah berkembang sekitar tahun 1850-an berkat tokoh
tasawuf asal Kalimantan yang bermukin da makkah, yaitu Syaikh Ahmad Khatib
Sambasi. Beliau merupakan tokoh yang berhasil memadukan antara tarekat
Qadariyah dan Naqsyabandiyah.
Di
Indonesia, sebagaimana kajian Van Bruinessen maka tarekat yang paling banyak
pengaruhnya dalah tarekat qadiriyah wa naqsyabandiyah. Tarekat ini memiliki
penganut hampir di seluruh nusantara, pengaruh terbesar tentunya di Jawa.[2]
Tarekat
Naqsyabandiyah di jawa:
Semarang
dan sekitarnya, daerah rembang-blora, daerah banyumas-purwokerto, daerah
kebumen, daerah Cirebon, jawa timur bagian utara, jawa timur selatan:
Kediri-blitar. Namun tarekat yang betul-betul yang punya pengaruh di kalangan
etnis jawa di jawa timur adalah tarekat qadiriyah wa naqsyabandiyah.[3]
Islam datang ke Nusantara melalui pesisir dan kemudian
masuk ke pedalaman. Itulah sebabnya ada anggapan bahwa Islam pesisir itu lebih
dekat dengan Islam genuine yang disebabkan oleh adanya kontak pertama dengan
pembawa islam. Meskipun Islam yang datang ke wilayah pesisir, sesungguhnya
sudah merupakan Islam hasil konstruksi pembawanya, sehingga Islam yang pertama
datang adalah Islam yang tidak murni. Terlepas dari teori kedatangan Islam ke
Nusantara dari berbagai sumbernya, namun yang jelas bahwa Islam datang ke
Nusantara ketika di wilayah ini sudah terdapat budaya yang berciri khas.
Bukan suatu kebetulan bahwa kebanyakan wali (penyebar
Islam) berada di wilayah pesisir. Sepanjang pantai utara Jawa dapat dijumpai
makam para wali yang diyakini sebagai penyebar Islam. Di Jawa Timur saja, jika
dirunut dari yang tertua ke yang muda, maka didapati makam Syeikh Ibrahim
Asmaraqandi di Palang Tuban, Syeikh Malik Ibrahim di Gresik, makam Sunan Ampel di Surabaya, makam Sunan
Bonang di Tuban, makam Sunan Giri di Gresik, makam Sunan Drajad di Lamongan,
makam Wali Lanang di Lamongan, makam Raden Santri di Gresik dan makam Syekh
Hisyamudin di Lamongan. Secara geostrategis, bahwa para wali menjadikan daerah
pesisir sebagai tempat mukimnya tidak lain adalah karena mudahnya jalur
perjalanan dari dan ke tempat lain untuk berdakwah. Bisa dipahami sebab pada
waktu itu jalur laut adalah jalur lalu lintas yang dapat menghubungkan antara
satu wilayah dengan wilayah lain.
Pada komunitas pesisir, ada satu hal yang menarik adalah
ketika di suatu wilayah terdapat dua kekuatan hampir seimbang, Islam murni dan
Islam lokal, maka terjadilah tarikan ke arah yang lebih Islami terutama yang
menyangkut istilah-istilah, seperti
slametan yang bernuansa bukan kesedihan berubah menjadi tasyakuran, misalnya slametan kelahiran, pindah rumah, mendapatkan
kenikmatan lainnya, maka ungkapan yang digunakan bukan lagi slametan tetapi syukuran. Upacara memperingati kematian
atau dulu disebut manganan kuburan
sekarang diubah dengan ungkapan khaul.
Nyadran di Sumur sekarang berubah menjadi sedekah
bumi. Upacara petik laut atau babakan
di pantai disebut sedakah laut. Upacara babakan
untuk menandai datangnya masa panen bagi para nelayan. Dari sisi substansi juga
terdapat perubahan. Jika pada masa lalu upacara nyadran di sumur selalu diikuti dengan acara tayuban, maka sekarang dilakukan kegiatan yasinan, tahlilan dan
pengajian. Sama halnya dengan upacara sedekah laut, jika dahulu hanya ada acara
tayuban, maka sekarang ada kegiatan
yasinan, tahlilan dan pengajian. Secara simbolik hal ini menggambarkan bahwa
ada pergerakan budaya yang terus berlangsung dan semakin mendekati ke arah
tradisi Islam.[4]
Suasana keagamaan yang berbeda tampak pada suatu wilayah
yang kecenderungan umum pelakunya adalah kebanyakan penganut NU. Di desa-desa
pesisir yang aliran keagamaannnya seperti itu, maka tampak bahwa pengamalan
beragamanya cenderung masih stabil, yaitu beragama yang bercorak lokalitas.
Jika terjadi perubahan pun kelihatannya sangat lambat. Akan tetapi satu hal
yang pasti bahwa upacara-upacara di medan budaya –sumur dan makam—sudah berubah
menjadi lebih islami. Hal itu juga tampak dari sederetan upacara ritual yang
menampakkan wajah islam secara lebih dominan, meskipun hal itu merupakan penafsiran
atau hasil konstruksi yang mempertimbangkan lokalitasnya.
Islam pedalaman pun menggambarkan wajah beragam varian-varian yang menonjol. Kajian Nakamura (1983) dan
Mulkhan (1999) tentang Islam murni di wilayah pusatnya Jogyakarta maupun Islam murni
di Wuluhan Jember tentunya merupakan gambaran varian Islam ketika berada di dalam lokus sosial
budayanya. Pada Muhammadiyah sendiri terdapat empat tipe penggolongan orang
Muhammadiyah di Wuluhan yang dilakukan oleh Mulkhan yaitu: (1) Islam-Ikhlas yang lebih puris (2) Islam-Munu
atau golongan Muhammadiyah-NU yang orientasinya kurang puris (3) Islam-Ahmad
Dahlan yang tidak melakukan praktik bidh’ah tetapi membiarkan. dan (4)
Islam-Munas atau Muhammadiyah-Nasionalisme yang tidak mengamalkan ajaran Islam
atau disebut juga Marmud atau Marhaenis-Muhammadiyah. Semuanya karena
Muhammadiyyah yang merupakan gerakan keagamaan anti takhayul, bid’ah dan
churafat ketika berada di tangan kaum petani juga mengalami naturalisasi. Gerakan
muhammadiyah belum tuntas, sehimgga muhammadiyah di tangan petani memberikan gambaran bahwa belum semua orang
muhammadiyah melakukan islam sebagaimana penafsiran para elitnya tentang islam.
Dalam banyak hal, Islam pedalaman memang menggambarkan
corak varian yang bermacam-macam. Selain gambaran Muhammadiyah sendiri yang
juga terdapat varian-varian pengamalan keagamaannya, maka di sisi lain juga
menggambarkan watak keislaman yang sangat variatif. Corak Islam tersebut
misalnya dapat dilihat dari semakin semaraknya tradisi-tradisi lokal di era
pasca reformasi. Tradisi-tradisi yang pada masa lalu dianggap sebagai ritual,
maka dewasa ini lebih dikemas sebagai festival-ritual. Artinya bahwa upacara
ritual tersebut dilaksanakan dengan tetap mengacu kepada tradisi masa lalu,
namun dikemas sebagai peristiwa festival yang bisa menghadirkan nuansa budaya
dan ekonomi. Dalam banyak hal lain, tradisi Islam pesisir dan pedalaman memang tidaklah
berbeda. Jika pun berbeda hanyalah pada istilah-istilah yang memang memiliki
lokalitasnya masing-masing. Perbedaan ini tidak serta merta menyebabkan
perbedaan substansi tradisi keberagamaannya. Substansi ritual hakikatnya adalah
menjaga hubungan antara mikro-kosmos dengan makro-kosmos. Hubungan mana
diantarai oleh pelaksanaan ritual yang diselenggarakan dengan corak dan bentuk
yang bervariasi. Nyadran laut atau
sedekah laut bagi para nelayan hakikatnya adalah upacara yang menandai akan
datangnya masa panen ikan. Demikian pula
upacara wiwit dalam tradisi pertanian
hakikatnya juga rasa ungkapan syukur karena penen padi akan tiba. Upacara
lingkaran hidup juga memiliki pesan ritual yang sama. Upacara hari-hari baik
dan intensifikasi hakikatnya juga memiliki pesan dan substansi ritual yang
sama. Dengan demikian, kiranya terdapat kesamaan dalam tindakan rasional
bertujuan atau in order to motive
bagi komunitas petani atau pesisir dalam mengalokasikan tindakan ritualnya.
Jika demikian halnya, maka perbedaan antara tradisi Islam pesisir dengan
tradisi Islam pedalaman hakikatnya hanyalah pada struktur permukaan, namun
dalam struktur dalamnya memiliki kesamaan. Atau dengan kata lain, substansinya
sama meskipun simbol-simbol luarnya berbeda.[5]
Tarekat
memang bukan hanya ajaran esoterisme saja, tetapi juga memiliki relasi dengan
tradisi dalam budaya Nusantara dan lebih khusus budaya Jawa. Dapat dijumpai
kelekatan ajaran tarekat dengan budaya dimaksud, prinsip ajaran dalam budaya
Jawa juga terdapat di dalam ajaran tarekat, misalnya: jujur, adil, sabar,
khouf, ikhtiar dan tawakkal, syukur, qanaah dan mahabbah. Prinsip ajaran ini
tergambar di dalam tiga hal yan g sangat mendasar di dalam ajaran tarekat
yaitu: takholli, tahalli dan tajalli. Di dalam prinsip ajaran takholli, maka
manusia harus menjauhkan diri dari segala tindakan menjelekkan, yaitu nafsu
amarah dan lawwamah harus diarahkan kepada nafsu mutmainnah dan radhiyah. Di
dalam tahalli, maka manusia harus menghiasi diri dengan tindakan yang baik, dan
di dalam tajalli, maka manusia harus berhias diri dengan cahaya ketuhanan.[6]
[1] Prof. Dr. H. Aboebakar Atjeh, Pengantar ilmu Tarekat, Ramadhani, Solo, 1985, hlm: 67-71
[2] Dr. H. Nur Syam, M.si., Tarekat Petani, PT. LKiS Printing Cemerlang,Yogyakarta, 2013, hlm:
25-26
[3] Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, Penerbit Mizan, Bandung, 1992,
hlm: 162-178
[5] Abdul Munir Mulkhan, Islam
Murni Pada Masyarakat Petani. Bentang Budaya, Jogjakarta, 1999, hlm:
143-150
Tidak ada komentar:
Posting Komentar