Selasa, 10 Mei 2016

FILSAFAT AL GHAZALI

A.    Pendahuluan
Ketika filsafat Islam dibicarakan, maka terbayang disana hadir beberapa tokoh yang disebut sebagai filosof muslim seperti Al-Kindi, Ibnu Sina, Al-Farabi, Ibnu Rusyd, Al-Ghazali, dan seterusnya. Kehadiran para tokoh ini memang tidak bisa dihindarkan,  karena dari merekalah kita dapat mengenal filsafat islam, akan tetapi juga karena pada mereka benih-benih filsafat Islam dikembangkan.
Dalam makalah ini, akan memaparkan mengenai filsafat Al-Ghazali, seorang ulama besar yang pemikirannya sangat berpengaruh terhadap Islam dan filsafat Dunia Timur. Beliau adalah seorang sufi sekaligus seorang teolog yang mendapat julukan Hujjah al- Islam. Pemikiran Al-Ghazali begitu beragam dan banyak,  mulai dari pikiran beliau dalam bidang teologi (kalam), tasawuf, dan filsafat. Dalam Hal ini akan dibahas tentang filsafat Al-Ghazali (biografi, karya-karya, pemikiran-pemikiran alghazali)



B.     Biografi al Ghazali
Ia adalah Abu hamid bin Muhammad bin ahmad al Ghazali, gelar hujjatul islam, lahir tahun 450 H di Tus, suatu kota kecil di khurasan (iran). Kata-kata al Ghazali kadang-kadang diucapkan al Ghazzali (dengan dua z). Dengan menduakalikan z, kata-kata al Ghazzali diambil dar kata-kata Ghazzal, artinya tukang pemintal benang, karena pekerjaan ayah al Ghazzali ialah memintal benang wol, sedang al Ghazali dengan satu z, diambil dari kata-kata Ghazalah, nama kampung kelahiran al Ghazali.
Ayah al Ghazali adalah seorang tasawuf yang shaleh dan meninggal dunia ketika al Ghazali besera saudaranya masih kecil. Akan tetapi sebelum wafatnya ia telah menitipkan kedua anaknya tersebut kepada seorang taswauf pula untuk mendapatkan bimbingan dan pemeliharaan dalam hidupnya.[1]
Di masa mudanya ia belajar di Nisyapur, juga di Khurasan, yang pada waktu itu merupakan salah satu pusat ilmu pengetahuan yang penting di dunia Islam. Ia kemudian menjadi murid Imam al-Haramain al-Juwaini, Guru Besar di Madrasah al-Nizamiah, Nisyapur. Diantara mata pelajaran-mata pelajaran yang diberikan di madrasah ini ialah: Teologi, Hukum Islam, Falsafat, Logika, Sufisme, dan Ilmu-ilmu Alam .[2]
Al Ghazali perama-tama belajar agama dikota Tus, kemudian meneruskan di jurjan, dan akhirnya di naisabur pada imam al Juwaeni, sampai yang terakhir ini wafat tahun 478 H/1085 M. Kemudian ia berkunjung kepada Nidzam al mulk dikota Mu’askar, dan daripadanya ia mendapat kehormatan dan penghargan yang besar, sehingga ia tinggal dikota itu enam tahun lamanya. Selama di baghdad, tahun 483 H/1090 M, ia diangkat menjadi guru disekolah Nidzamah baghdad, dan pekerjaanya itu dilaksanakan dengan sangat berhasil.
Kemudian ia pindah ke palestina dan disini pun ia merenung, membaca dan menulis dengan mengambil tempat dimasjid baitul maqdis. Sesudah itu tergeraklah hatinya untuk menjalankan ibadah haji, dan setelah selesai ia pulang ke negeri asalnya sendiri, disana ia tetap seperti biasanya, berkhalwat dan beribadah. Keadaan tersebut berlangsung sepuluh tahun lamanya, sejak kepindahanya ke damasyik dan dalam masa ini ia menuliskan buku-bukunya yang terkenal di antara lain adalah Ihya’ ulumuddin.[3]
Al Ghazali wafat pada 14 jumadil akhir 505 H. Bertepatan dengan tanggal 18 desember 1111 M. Ia menghembuskan nafasnya yang terakhir dalam usia 55 tahun. Jasadnya dikebumikan disebelah timur benteng dekat thabaran berdampingan dengan makam penyair yang terkenal al Firdausy.[4]
Demikianlah yang dapat kita amati mengenai sejarah kehidupan imam al Ghazali dalam siklus purna yang berhenti ditempat semula. Beliau dilahirkan di thus dan kembali ke thus lagi setelah beliau melakukan pengembaraan dan akhirnya meninggal dunia di kota thus juga.[5]

C.    Karya-karya al Ghazali
1.      Maqashid al-Falasifat (The tendencies of the Philosophers: Tujuan Ilmu Filsafat). Berisi mengenai ringkasan ilmu-ilmu filsafat, dijelaskan juga ilmu-ilmu mantiq, fisika dan ilmu alam.
2.      Tahafut al-falasifat (The distruction of the Philosophers: Kerancuan pemikiran para filosof). Berisi pertentangan (kontradiksi) yang ada dalam ajaran filsafat , serta dijelaskannya juga ketidaksesuaiannya dengan akal.
3.      Al-Ma’riful ‘Aqliyah (Ilmu Pengetahuan yang Rasional). Kitab ini mengungkap asal muasal ilmu-ilmu yang rasional dan kemudianhakikat apa yang dihasilkan serta ke arah mana tujuan pastinya.[6]
4.      Ihya ulumuddin (menghidupkan ilmu-ilmu agama) yang berisi tentang panduan yang indah antara fiqih, tasawuf dan filsafat
5.      Al munqidz min ad dlalal (penyelamatan dari kesesatan), berisi sejarah perkembangan alam pikiranya dan mencerminkan sikapnya yang terakhir terhadap beberapa macam ilmu, serta jalan untuk mencapai tuhan.[7]
6.      Minhaj ul’Abidin (the Path of the Devout: Jalan Mengabdi Tuhan).[8]

D.    Pemikiran al Ghazali tentang filsafat
1.      Metafisika
Untuk pertama kalinya Al-Ghazali mempelajari karangan-karangan ahli filsafat terutama karangan Ibnu Sina. Setelah mempelajari filsafat dengan seksama, ia mengambil kesimpulan bahwa mempergunakan akal semata-mata dalam soal ketuhanan adalah seperti mempergunakan alat yang tidak mencukupi kebutuhan.
Al-Ghazali dalam Al-Munqidz min al-Dhalal menjelaskan bahwa jika berbicara mengenai ketuhanan (metafisika), maka disinilah terdapat sebagian besar kesalahan mereka (para filosof) karena tidak dapat mengemukakan bukti-bukti menurut syarat-syarat yang telah mereka tetapkan sendiri dalam ilmu logika.
Al-Ghazali meneliti kerja para filsuf dengan metodenya yang rasional, yang mengandalkan akal untuk memperoleh pengetahuan yang meyakinkan. Dia pun menekuni bidang filsafat secara otodidak sampai menghasilkan beberapa karya yang mengangkatnya sebagai filsuf. Tetapi hasil kajian ini mengantarkannya kepada kesimpulan bahwa metode rasional para filsuf tidak bisa dipercaya untuk memberikan suatu pengetahuan yang meyakinkan tentang hakikat sesuatu di bidang metafisika (ilahiyyat) dan sebagian dari bidang fisika (thabi’iyat) yang berkenaan dengan akidah Islam. Meskipun demikian, Al-Ghazali tetap memberikan kepercayaan terhadap kesahihan filsafat-filsafat di bidang lain, seperti logika dan matematika.
Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, bahwa ada pemikiran tentang filsafat metafisika yang menurut al-Ghazali sangat berlawanan dengan Islam, dan karenanya para filosof dinyatakan kafir. Hal ini akan lebih dijelaskan dalam bagian selanjutnya.
2.      Iradat tuhan
Mengenai kejadian alam dan dunia, Al-Ghazali berpendapat bahwa dunia itu berasal dari iradat (kehendak) tuhan semat-mata, tidak bisa terjadi dengan sendirinya. Iradat tuhan itulah yang diartikan penciptaan. Iradat itu menghasilkan ciptaan yang berganda, di satu pihak merupakan undang-undang, dan di lain pihak merupakan zarah-zarah (atom-atom) yang masih abstrak. Penyesuaian antara zarah-zarah yang abstrak dengan undang-undang itulah yang merupakan dunia dan kebiasaanya yang kita lihat ini.
Iradat tuhan adalah mutlak, bebas dari ikatan waktu dan ruang, tetapi dunia yang diciptakan itu seperti yang dapat ditangkap dan dikesankan pada akal (intelek) manusia, terbatas dalam pengertian ruang dan waktu. Al-Ghazali menganggap bahwa tuhan adalah transenden, tetapi kemauan iradatnya imanen di atas dunia ini, dan merupakan sebab hakiki dari segala kejadian.
Pengikut Aristoteles, menamakan suatu peristiwa sebagai hukum pasti sebab dan akibat (hukum kausalitas), sedangkan Al-Ghazali seperti juga Al-Asy’ari berpendapat bahwa suatu peristiwa itu adalah iradat Tuhan, dan Tuhan tetap bekuasa mutlak untuk menyimpangkan dari kebiasaan-kebiasaan sebab dan akibat tersebut. Sebagai contoh, kertas tidak mesti terbakar oleh api, air tidak mesti membasahi kain. Semua ini hanya merupakan adat (kebiasaan) alam, bukan suatu kemestian. Terjadinya segala sesuatu di dunia ini karena kekuasaan dan kehendak Allah semata. Begitu juga dengan kasus tidak terbakarnya Nabi Ibrahim ketika dibakar dengan api. Mereka menganggap hal itu tidak mungkin, kecuali dengan menghilangkan sifat membakar dari api ituatau mengubah diri (zat) Nabi Ibrahim menjadi suatu materi yang tidak bisa terbakar oleh api.

                                   
3.      Etika
Mengenai filsafat etika Al-Ghazali secara sekaligus dapat kita lihat pada teori tasawufnya dalam buku Ihya’ ‘Ulumuddin. Dengan kata lain, filsafat etika Al-Ghazali adalah teori tasawufnya itu. Mengenai tujuan pokok dari etika Al-Ghazali kita temui pada semboyan tasawuf yang terkenal “Al-Takhalluq Bi Akhlaqihi ‘Ala Thaqah al-Basyariyah, atau Al-Ishaf Bi Shifat al-Rahman ‘Ala Thaqah al-Basyariyah”. Maksudnya adalah agar manusia sejauh kesanggupannya meniru perangai dan sifat-sifat ketuhanan seperti pengasih, pemaaf, dan sifat-sifat yang disukai Tuhan, jujur, sabar, ikhlas dan sebagainya.
Sesuai dengan prinsip Islam, Al-Ghazali menganggap Tuhan sebagai pencipta yang aktif berkuasa, yang sangat memelihara dan menyebarkan rahmat (kebaikan) bagi sekalian alam. Berbeda dengan prinsip filsafat klasik Yunani yang menganggap bahwa Tuhan sebagai kebaikan yang tertinggi, tetapi pasif menanti, hanya menunggu pendekatan diri dari manusia, dan menganggap materi sebagai pangkal keburukan sama sekali.
Al-Ghazali sesuai dengan prinsip Islam, mengakui bahwa kebaikan tersebar di mana-mana, juga dalam materi. Hanya pemakaiannya yang disederhanakan, yaitu kurangi nafsu dan jangan berlebihan.[9]

E.     Sikap al Ghazali terhadap para filosof
Faktor yang menjadikanya argumenya bertambah penting adalah bahwasanya Ghazali menyerang para filosof dengan dasar argumen yang mereka pergunakan sendiri, sambil menyampaikan pendapatnya secara filosofis dengan menyatakan bahwa tesis-tesis utama mereka adalah tidak benar dilihat dari sudut dasar-dasar logika itu sendiri.[10]
Al Ghazali adalah orang yang pertama-tama mendalami filsafat dan yang sanggup mengeritiknya pula.Hasil peninjauanya dalam filsafat dibukukanya dalam bukunya Maqasid al falasifah dan tahauf al falasifah.
Menurut al Ghazali banyak sekali berisi kesalahan filosof-filosof. Mereka tidak bisa mengadakan ketelitian dalam lapangan ketuhanan, sebagaimana yang telah diadakan oleh mereka  dalam lapangan logika, dan oleh karena itu perbedaan pendapat mereka dalam lapangan tersebut banyak sekali. Diantara tokoh yunani yang mendekati filosof-filosof islam, seperti yang di nukilkan oleh al Farabi dan Ibnu sina, ialah Aries toteles. Kesalahan-kesalahan mereka dalam lapangan tersebut ada 20 soal : Dan dalam tujuh belas soal diantaranya mereka harus dinyatakan sebagai orang-orang Bidat, sedang dalam tiga soal lebihnya, mereka dinyatakan sebagai ateis (kafir), karena pikiran-pikiran mereka dalam tiga soal tersebut berlawanan sama sekali dengan pendirian semua kaum muslimin.[11]
Ketika pernyataan itu menyangkup penolakan terhadap kebangkitan jasmani, ketidaktahuan tuhan akan hal-hal kecil yang bersifat khusus dan ajaran mereka tentang keabadian alam semesta. Meskipun yang terpokok bukanlah tuduhanya bahwa falasifa mengetengahkan pandangan-pandangan yang tidak islami, tetapi mereka itu berjalan miring dalam mengetengahkan argumen-argumen mereka.
Alur argumen yang tampak nyata dalam seluruh sanggahan Ghazali terhadap falasifah adalah penekananya bahwa percaya pada tuhan adalah sama dengan percaya bahwa keberadaan tuhan itu adalah sangat begitu berbeda dengan cara keberadaan segala sesuatu dialam dunnia ini. Dia menegaskan bahwa ada suatu langkah yang mendatangkan kerugian yang sangat serius didalam teori para filosof, karena didalam teori itu mereka tampaknya Cuma membolehkan tuhan memegang peran kedua atau peran tambahan didalam menentukan dan mengatur alam semesta yang abadi yang selalu mereka pertahankan.[12]
Adapun bidang ketuhanan, sebagai yang terdapat dalam buku Tahafut al falasifat, al Ghazali memandang para filosof sebagai bid’at dan kafir. Kesalahan para filofof tersebut dalam bidang ketuhanan ada dua puluh masalah yaitu :
1.      Membatalkan pendapat mereka bahwa alam ini azali
2.      Membatalkan pendapat mereka bahwa alam ini kekal
3.      Menjelaskan keragu-raguan mereka bahwa Allah lah pencipta alam semesta dan sesungguhnya  alam ini diciptakanya.
4.      Menjelaskan kelemahan mereka dalam membuktikan yang maha pencipta
5.      Menjelaskan kelemahan mereka dalam menetapkan dalil bahwa mustahil adanya dua tuhan
6.      Membatalkan pendapat mereka bahwa Allah tidak mempunyai sifat.
7.      Membatalkan pendapat mereka bahwa Allah tidak terbagi ke dalam al jins dan al fash.
8.      Membatalkan pendapat mereka bahwa Allah mempunyai substansi  basith dan tidak mempunyai mahiyah (hakikat).
9.      Menjelaskan kelemahan pendapat mereka bahwa Allah tidak berjisim
10.  Menjelaskan pendapat mereka tentang al dahr (kekal dalam arti tidak bermula) dan tidak berakhir.
11.  Menjelaskan kelemahan pendapat mereka bahwa Allah mengetahui yang selainya.
12.  Menjelaskan kelemahan pendapat mereka bahwa Allah mengetahui zatnya.
13.  Membatalkan pendapat mereka  bahwa Allah tidak mengetahui Zuz’iyat.
14.  Menjelaskan pendapat mereka bahwa planet-planet adalah hewan yang bergerak dengan kemauanya.
15.  Membatalkan apa yang mereka sebutkan tentang tujuan penggerak dari planet-planet.
16.  Membatalkan pendapat mereka bahwa planet-planet mengetahui semua yang zuz’iyat.
17.  Membatalkan pendapat mereka yang mengatakan bahwa mustahil terjadinya sesuatu diluar hukum islam.
18.  Menjelaskan pendapat mereka bahwa roh manusia adalah jauhar (substansi)yang berdiri sendiri tidak mempunyai tubuh.
19.  Menjelaskan pendapat mereka yang menyatakan tentang mustahilnya fana jiwa manusia.
20.  Membatalkan pendapat mereka yang menyatakan bahwa tubuh tidak akan dibangkitkan dan yang akan menerima kesenangan dalam surga dan kepedihan dalam neraka hanya roh.

Tiga dari dua puluh masalah diatas, menurut al Ghazali, membuat filosof menjadi kafir yaitu :
1.      Alam dan semua substansi qodim
Pada umumnya para filosof muslim berpendapat bahwa alam ini kodim, artinya wujud alam bersamaan dengan wujud Allah. Keterdahuluan Allah dari alam hanya dari segi zat dan tidak dari segi zaman. Untuk menopang pendapat ini, menuut al Ghazali, para filosof muslim mengemukakan argumen sebagai berikut :
a.       Mustahil timbulnya yang baharu dari yang Qodim. Proposisi ini berlaku bagi sebab akibat, dengan arti, jika Allah qodim, maka terjadinya alam merupakan suatu keniscayaan dan hal ini akan menjadi qodim  kedua-duanya (Allah dan alam). Kalau dikatakan sebelumnya motif belum lagi ada, mengapa baru ada sekarang tidak sebelumnya ?jika dikatakan kekuasaan baru ada tidak sebelumnya, bagaimana terjadinya kekuasaan itu. Jika dikatakan sebelumnya Allah tidak berkehendak (iradat) dan baru kemudian berkehendak itu, mengapa terjadi kehendak itu, apakah kehendak itu datang dari zatnya atau dari luar zatnya  ?keduanya adalah mustahil karena Allah tidak mengalami perubahan.
Al Ghazali menjawab argumen filosof muslim diatas yang ia kemukakan sendiri. Menurut al Ghazali, tidak ada halangan apapun bagi Allah menciptakan alam sejak azali dengan iradahnya yang qodim pada waktu diadakanya. Sementara itu, ketiadaan wujud alam sebelumnya karena memang belum dikehendakinya. Iradah, menurut al ghazali, adalah suatu sifat bagi Allah yang berfungsi membedakan sesuatu dari lainya yang sama. Jika tidak demikian fungsinya, tentu bagi Allah cukup saja dengan sifat kudrat. Akan tetapi, karena sifat kudrat antara mencipta dan tidaknya sama kedudukanya, harus ada suatu sifat khusus yang membedakanya, yaitu iradat.
b.      Keterdahuluan wujud Allah dari alam hanya dari segi esensi (taqodum zati), sedangkan dari segi zaman (taqodum zamani) antara keduanya adalah sama. Hal ini sama seperti keterdahuluan bilangan satu dari dua, atau keterdahuluan gerakan tangan dari cincin. Kedua jenis ini serupa tingkatanya dalam zaman. Jika demikian keadaan antara Allah  dan alam, harus keduanya qodim dan yang lainya baharu.
Al Ghazali menjawab argumen diatas.Menurutnya, memang wujud Allah lebih alam dan zaman.Zaman baharu dan diciptakan.Sebelum zaman diciptakan tidak ada zaman.Pertama kali ada Allah, kemudian ada alam karena diciptakan Allah.Jadi, dalam keadaan pertama kita bayangkan adanya Allah saja, dan dalam keadaan yang ke dua kita bayangkan ada dua esensi, yakni Allah dan alam.
c.       Alam sebelum wujudnya merupakan suatu yang mungkin. Kemungkinan ini tidak ada awalnya, dengan arti selalu abadi.
Al Ghazali menjawab filosof para filosof yang ia kemukakan tersebut. Menurutnya alam ini senantiasa mungkin terjadinya, dan setiap saat dapat digambarkan terjadinya. Jika dikatakan bahwa alam ini ada selamanya (qodim) tentu ia tidak baharu.
2.      Tuhan tidak mengetahui yang juz’iyat yang terjadi dialam
Para filosof muslim, al Ghazali berpendapat bahwa Allah hanya mengetahui zatnya dan tidak mengetahui yang selainya. Ibnu sina mengatakan bahwa Allah mengetahui segala sesuatu dengan ilmunya yang kulli. Alasan para filosof muslim, Allah tidak mengetahui yang juz’iyat, bahwa dialam ini selalu terjadi perubahan-perubahan, jika Allah mengetahui rincian perubahan tersebut, hal itu akan membawa pada perubahan kepada zatnya. Perubaha pada objek ilmu akan membawa perubahan pada yang punya ilmu (bertambah atau berkurang). Ini mustahil terjadi pada Allah.
Pendapat para filosof muslim yang dikemukakan al Ghazali diatas dijawabnya sendiri. Menurutnya, pendapat para filosof itu merupakan kesalahan fatal.Menurut al Ghazali lebih lanjut, perubahan pada objek ilmu tidak membawa perubahan pada ilmu.Karena ilmu merupakan idofah (sesuatu rangkaian yang berhubungan dengan dzat).Jika ilmu berubah tidak membawa perubahan pada dzat, dengan arti keadaan orang yang mempunyai ilmu tidak berubah. Lebi lanjut al Ghazali mengemukakan ilustrasi, bila seseorang berada disebelah kanan anda, lalu berpindah ke sebelah kiri, kemudian berpindah ke depan atau ke belakang, maka yang berubah adalah dia bukan anda. Demikian pula ilmu Allah. Ia mengetahui segala sesuatu dengan ilmunya yang satu  semenjak azali dan tidak berubah meskipun alam yang diketahuinya itu mengalami perubahan.
3.      Kebangkitan jasmani di akherat
Menurut para filosof muslim, yang akan dibangkitkan di akherat nanti adalah rohani saja, sedangkan jasmani akan hancur. Jadi, yang akan merasakan kebahagiaan atau kepedihan adalah rohani saja. Kendatipun ada gambaran dari agama berupa materi di akherat, seperti surga dan neraka, semua itu pada dasarnya symbol-simbol untuk memudahkan pemahaman orang awam. Padahal, di akherat telalu suci dari apa yang digambarkan dari orang awam.
Al Ghazali dalam menyanggah pendapat para filosof muslim lebih banyak bersandar pada arti tekstual al Qur’an. Menurut al Ghazali, tidak ada alasan untuk menolak adanya kebahagiaan atau kesengsaraan fisik dan rohani secara bersamaan. Allah berfirman yang artinya : “Tidak seornag pun mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka yang menyedapkan pandangan mata”. Demikian pula firmanya : “Aku sediakan bagi hambaku yang saleh, apa yang tidak terlihat oleh mata, tidak terdengar oleh telinga, dan tidak tergores dalam hati manusia.” Janji-janji Allah yang maha sempurna, perpaduan diantara kedua hal (jasmani dan rohani) adalah yang paling sempurna dan mesti mungkin.Karenanya wajib membenarkan kemungkinan ini sesuai dengan agama.[13]
Dalam hal tersebut imam al Ghazali menilik masalah tersebut dengan kacamata agama, syara’, dan ilham, bukan dengan logika dan akal melainkan yang ia kemukakan tersebut ialah melalui sumber yakni al Qur’an.[14]
                                                           

F.     Pemikiran al Ghazali tentang epistemologi
Dalam sejarah filsafat telah muncul pada masa Yunani Kumo. Kaum sophis pada abad kelima sebelum Masehi telah “mempersoalkan: seberapa jauh pengetahuan kia mengenai realitas benar-benar merupakan kenyataan obyektif budi manusia? Apakah kita mempunyai pengetahuan mengenai realitas sebagaimana adanya?”
Berkaitan dengan persoalan tersebut, Gorgias, salah seorang tokoh kaum shopis terkemuka, menyatakan bahwa tidak ada sesuatu pun yang di sebut realitas.Seandanya ada, kita tidak dapat mengetahuinya, kita tidak dapat mengkomunikasikan pengetahuan itu.pandangan seperti itu dalam khasanah filsafat dikenal sebagai “skeptisisme”.
Al-ghazali juga seorang yang mempunyai sikap skeptis, bahkan sejak ketika ia masih sangat muda. Namun demikian, skeptisisme al-ghazali bukanlah skeptisisme model gorgias.Skeptisisme al-ghazali lebih meneyrupi skeptisisme yang ada pada Rene Descartes, yakni skeptisisme metodis. Dalam skeptisisme metodis ini keraguan melulu dipakai sebagai sarana untuk memperoleh pengetahuan tentang realitas, pengetahuan tentang segala sesuatu sebagaimana adanya yang di sebut sebagai al-‘alim al-yakini, suatu pengetahuan yang pasti yang didefinisikannya sebagai “pengetahuan yang di dalamnya hal yang diketahui menjadi sedemikian nyata sehingga tak ada keraguan yang melekat padanya, tidak pula disertai oleh kemungkinan kesalahan atau kepalsuann, dan bahkan pikiranpun tak dapat menduga adanya kemungkinan seperti itu”. maka dalam pemikiran epistimologimya, al-ghazali memberikan kedudukan yang tinggi pada akal sebagai sumber pengetahuan.[15]


DAFTAR PUSTAKA


Abdullah AminStudi Agama, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.
Daudy Ahmad, Segi-segi pemikiran falsafi dalam islam, Bulan bintang, jakarta, 1984.
Dasoeki Akhyar Thawil, Sebuah Kompilasi Filsafat Islam, Semarang: CV Toha Putra, 1993.
Hanafi Ahmad, Pengantar filsafat islam, Bulan bintang, jakarta 1990.
Leaman Oliver, Pengantar filsafat islam, Rajawali perss, jakarta 1989.
Nata Abuddin, Pemikiran para tokoh pendidikan islam, Raja grafindo persada, Jakarta, 2003.
 Nasution Harun, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1995.
Sholihan, Pernik-pernik pemikiran islam dari al Farabi sampai al Faruqi, Walisongo press, semarang, 2010.
Zar Sirajuddin, Filsafat Islam, Raja grafindo persada, jakarta 2010.




[1] Ahmad hanafi, Pengantar filsafat islam, Bulan bintang, jakarta 1990, hlm : 135
[2]Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1995, hlm. 41.
[3] Ahmad hanafi, Pengantar filsafat islam, Bulan bintang, jakarta 1990, hlm : 135
[4]Sirajuddin Zar, Filsafat Islam, Raja grafindo persada, jakarta 2010, hlm : 158
[5]Abuddin Nata, Pemikiran para tokoh pendidikan islam, Raja grafindo persada, Jakarta, 2003, hlm : 85
[6]Thawil Akhyar Dasoeki, Sebuah Kompilasi Filsafat Islam,Semarang: CV Toha Putra, 1993, hlm: 62
[7] Ahmad hanafi, Pengantar filsafat islam, Bulan bintang, jakarta 1990, hlm : 136
[8]Thawil Akhyar Dasoeki, Sebuah Kompilasi Filsafat Islam,Semarang: CV Toha Putra, 1993, hlm: 62
[9]M. Amin Abdullah, Studi Agama, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996, hlm.280.
[10]Oliver Leaman, Pengantar filsafat islam, Rajawali perss, jakarta 1989, hlm : 53-54
[11] Ahmad hanafi, Pengantar filsafat islam, Bulan bintang, jakarta 1990, hlm : 143-144
[12]Oliver Leaman, Pengantar filsafat islam, Rajawali perss, jakarta 1989, hlm : 55
[13]Sirajuddin Zar, Filsafat Islam, Raja grafindo persada, jakarta 2010, hlm : 161-172
[14]Ahmad Daudy, Segi-segi pemikiran falsafi dalam islam, Bulan bintang, jakarta, 1984, hlm : 67
[15]Sholihan, Pernak-pernik Pemikiran Islam dari Al-Farabi sampai Al-Faruqi, Walisongo Press: Semarang, 2010, hlm: 57-63

Tidak ada komentar:

Posting Komentar