A. Pendahuluan
Ketika filsafat Islam dibicarakan,
maka terbayang disana hadir beberapa tokoh yang disebut sebagai filosof
muslim seperti Al-Kindi, Ibnu Sina, Al-Farabi, Ibnu
Rusyd, Al-Ghazali, dan seterusnya. Kehadiran para tokoh ini memang tidak
bisa dihindarkan, karena dari merekalah kita dapat mengenal filsafat
islam, akan tetapi juga karena pada mereka benih-benih filsafat Islam
dikembangkan.
Dalam makalah ini, akan memaparkan mengenai filsafat Al-Ghazali, seorang ulama besar yang
pemikirannya sangat berpengaruh terhadap Islam dan
filsafat Dunia Timur. Beliau adalah seorang sufi sekaligus
seorang teolog yang mendapat julukan Hujjah al- Islam. Pemikiran
Al-Ghazali begitu beragam dan banyak, mulai dari pikiran beliau
dalam bidang teologi (kalam), tasawuf, dan filsafat. Dalam Hal
ini akan dibahas tentang filsafat Al-Ghazali (biografi, karya-karya, pemikiran-pemikiran alghazali)
B. Biografi al Ghazali
Ia adalah Abu hamid bin Muhammad bin ahmad al
Ghazali, gelar hujjatul islam, lahir tahun 450 H di Tus, suatu kota kecil di
khurasan (iran). Kata-kata al Ghazali kadang-kadang diucapkan al Ghazzali
(dengan dua z). Dengan menduakalikan z, kata-kata al Ghazzali diambil dar
kata-kata Ghazzal, artinya tukang pemintal benang, karena pekerjaan ayah al
Ghazzali ialah memintal benang wol, sedang al Ghazali dengan satu z, diambil
dari kata-kata Ghazalah, nama kampung kelahiran al Ghazali.
Ayah al Ghazali adalah seorang tasawuf yang shaleh
dan meninggal dunia ketika al Ghazali besera saudaranya masih kecil. Akan
tetapi sebelum wafatnya ia telah menitipkan kedua anaknya tersebut kepada
seorang taswauf pula untuk mendapatkan bimbingan dan pemeliharaan dalam
hidupnya.[1]
Di masa
mudanya ia belajar di Nisyapur, juga di Khurasan, yang pada waktu itu merupakan
salah satu pusat ilmu pengetahuan yang penting di dunia Islam. Ia kemudian
menjadi murid Imam al-Haramain al-Juwaini, Guru Besar di Madrasah al-Nizamiah,
Nisyapur. Diantara mata pelajaran-mata pelajaran yang diberikan di madrasah ini
ialah: Teologi, Hukum Islam, Falsafat, Logika, Sufisme, dan Ilmu-ilmu Alam .[2]
Al Ghazali perama-tama belajar agama dikota Tus,
kemudian meneruskan di jurjan, dan akhirnya di naisabur pada imam al Juwaeni,
sampai yang terakhir ini wafat tahun 478 H/1085 M. Kemudian ia berkunjung
kepada Nidzam al mulk dikota Mu’askar, dan daripadanya ia mendapat kehormatan
dan penghargan yang besar, sehingga ia tinggal dikota itu enam tahun lamanya.
Selama di baghdad, tahun 483 H/1090 M, ia diangkat menjadi guru disekolah
Nidzamah baghdad, dan pekerjaanya itu dilaksanakan dengan sangat berhasil.
Kemudian ia pindah ke palestina dan disini pun ia
merenung, membaca dan menulis dengan mengambil tempat dimasjid baitul maqdis.
Sesudah itu tergeraklah hatinya untuk menjalankan ibadah haji, dan setelah
selesai ia pulang ke negeri asalnya sendiri, disana ia tetap seperti biasanya,
berkhalwat dan beribadah. Keadaan tersebut berlangsung sepuluh tahun lamanya,
sejak kepindahanya ke damasyik dan dalam masa ini ia menuliskan buku-bukunya
yang terkenal di antara lain adalah Ihya’ ulumuddin.[3]
Al Ghazali wafat pada 14 jumadil akhir 505 H.
Bertepatan dengan tanggal 18 desember 1111 M. Ia menghembuskan nafasnya yang
terakhir dalam usia 55 tahun. Jasadnya dikebumikan disebelah timur benteng
dekat thabaran berdampingan dengan makam penyair yang terkenal al Firdausy.[4]
Demikianlah yang dapat kita amati mengenai sejarah
kehidupan imam al Ghazali dalam siklus purna yang berhenti ditempat semula.
Beliau dilahirkan di thus dan kembali ke thus lagi setelah beliau melakukan
pengembaraan dan akhirnya meninggal dunia di kota thus juga.[5]
C. Karya-karya al Ghazali
1. Maqashid al-Falasifat (The
tendencies of the Philosophers: Tujuan Ilmu Filsafat). Berisi mengenai
ringkasan ilmu-ilmu filsafat, dijelaskan juga ilmu-ilmu mantiq, fisika dan ilmu
alam.
2. Tahafut al-falasifat (The
distruction of the Philosophers: Kerancuan pemikiran
para filosof). Berisi pertentangan (kontradiksi) yang ada dalam
ajaran filsafat , serta dijelaskannya juga ketidaksesuaiannya dengan akal.
3. Al-Ma’riful ‘Aqliyah (Ilmu
Pengetahuan yang Rasional). Kitab ini mengungkap asal muasal ilmu-ilmu yang
rasional dan kemudianhakikat apa yang dihasilkan serta ke arah mana tujuan
pastinya.[6]
4. Ihya
ulumuddin (menghidupkan ilmu-ilmu agama) yang berisi tentang panduan yang indah
antara fiqih, tasawuf dan filsafat
5. Al
munqidz min ad dlalal (penyelamatan dari kesesatan), berisi sejarah
perkembangan alam pikiranya dan mencerminkan sikapnya yang terakhir terhadap
beberapa macam ilmu, serta jalan untuk mencapai tuhan.[7]
D. Pemikiran al Ghazali tentang filsafat
1. Metafisika
Untuk pertama
kalinya Al-Ghazali mempelajari karangan-karangan ahli filsafat terutama
karangan Ibnu Sina. Setelah mempelajari filsafat dengan seksama, ia mengambil
kesimpulan bahwa mempergunakan akal semata-mata dalam soal ketuhanan adalah
seperti mempergunakan alat yang tidak mencukupi kebutuhan.
Al-Ghazali
dalam Al-Munqidz min al-Dhalal menjelaskan bahwa jika
berbicara mengenai ketuhanan (metafisika), maka disinilah terdapat sebagian
besar kesalahan mereka (para filosof) karena tidak dapat mengemukakan
bukti-bukti menurut syarat-syarat yang telah mereka tetapkan sendiri dalam ilmu
logika.
Al-Ghazali
meneliti kerja para filsuf dengan metodenya yang rasional, yang mengandalkan akal
untuk memperoleh pengetahuan yang meyakinkan. Dia pun menekuni bidang filsafat
secara otodidak sampai menghasilkan beberapa karya yang mengangkatnya sebagai
filsuf. Tetapi hasil kajian ini mengantarkannya kepada kesimpulan bahwa metode
rasional para filsuf tidak bisa dipercaya untuk memberikan suatu pengetahuan
yang meyakinkan tentang hakikat sesuatu di bidang metafisika (ilahiyyat)
dan sebagian dari bidang fisika (thabi’iyat) yang berkenaan dengan
akidah Islam. Meskipun demikian, Al-Ghazali tetap memberikan kepercayaan
terhadap kesahihan filsafat-filsafat di bidang lain, seperti logika dan
matematika.
Sebagaimana
yang telah dijelaskan di atas, bahwa ada pemikiran tentang filsafat metafisika
yang menurut al-Ghazali sangat berlawanan dengan Islam, dan karenanya para
filosof dinyatakan kafir. Hal ini akan lebih dijelaskan dalam bagian
selanjutnya.
2. Iradat
tuhan
Mengenai
kejadian alam dan dunia, Al-Ghazali berpendapat bahwa dunia itu berasal dari
iradat (kehendak) tuhan semat-mata, tidak bisa terjadi dengan sendirinya.
Iradat tuhan itulah yang diartikan penciptaan. Iradat itu menghasilkan ciptaan
yang berganda, di satu pihak merupakan undang-undang, dan di lain pihak
merupakan zarah-zarah (atom-atom) yang masih abstrak. Penyesuaian antara
zarah-zarah yang abstrak dengan undang-undang itulah yang merupakan dunia dan
kebiasaanya yang kita lihat ini.
Iradat tuhan
adalah mutlak, bebas dari ikatan waktu dan ruang, tetapi dunia yang diciptakan
itu seperti yang dapat ditangkap dan dikesankan pada akal (intelek) manusia,
terbatas dalam pengertian ruang dan waktu. Al-Ghazali menganggap bahwa tuhan
adalah transenden, tetapi kemauan iradatnya imanen di atas dunia ini, dan
merupakan sebab hakiki dari segala kejadian.
Pengikut
Aristoteles, menamakan suatu peristiwa sebagai hukum pasti sebab dan akibat
(hukum kausalitas), sedangkan Al-Ghazali seperti juga Al-Asy’ari berpendapat
bahwa suatu peristiwa itu adalah iradat Tuhan, dan Tuhan tetap bekuasa mutlak
untuk menyimpangkan dari kebiasaan-kebiasaan sebab dan akibat tersebut. Sebagai
contoh, kertas tidak mesti terbakar oleh api, air tidak mesti membasahi kain.
Semua ini hanya merupakan adat (kebiasaan) alam, bukan suatu kemestian.
Terjadinya segala sesuatu di dunia ini karena kekuasaan dan kehendak Allah
semata. Begitu juga dengan kasus tidak terbakarnya Nabi Ibrahim ketika dibakar
dengan api. Mereka menganggap hal itu tidak mungkin, kecuali dengan
menghilangkan sifat membakar dari api ituatau mengubah diri (zat) Nabi Ibrahim
menjadi suatu materi yang tidak bisa terbakar oleh api.
3. Etika
Mengenai
filsafat etika Al-Ghazali secara sekaligus dapat kita lihat pada teori
tasawufnya dalam buku Ihya’ ‘Ulumuddin. Dengan kata lain, filsafat
etika Al-Ghazali adalah teori tasawufnya itu. Mengenai tujuan pokok dari etika
Al-Ghazali kita temui pada semboyan tasawuf yang terkenal “Al-Takhalluq Bi
Akhlaqihi ‘Ala Thaqah al-Basyariyah, atau Al-Ishaf Bi Shifat al-Rahman ‘Ala
Thaqah al-Basyariyah”. Maksudnya adalah agar manusia sejauh kesanggupannya
meniru perangai dan sifat-sifat ketuhanan seperti pengasih, pemaaf, dan
sifat-sifat yang disukai Tuhan, jujur, sabar, ikhlas dan sebagainya.
Sesuai dengan
prinsip Islam, Al-Ghazali menganggap Tuhan sebagai pencipta yang aktif
berkuasa, yang sangat memelihara dan menyebarkan rahmat (kebaikan) bagi sekalian
alam. Berbeda dengan prinsip filsafat klasik Yunani yang menganggap bahwa Tuhan
sebagai kebaikan yang tertinggi, tetapi pasif menanti, hanya menunggu
pendekatan diri dari manusia, dan menganggap materi sebagai pangkal keburukan
sama sekali.
Al-Ghazali sesuai
dengan prinsip Islam, mengakui bahwa kebaikan tersebar di mana-mana, juga dalam
materi. Hanya pemakaiannya yang disederhanakan, yaitu kurangi nafsu dan jangan
berlebihan.[9]
E. Sikap al Ghazali terhadap para filosof
Faktor yang menjadikanya argumenya bertambah penting
adalah bahwasanya Ghazali menyerang para filosof dengan dasar argumen yang
mereka pergunakan sendiri, sambil menyampaikan pendapatnya secara filosofis
dengan menyatakan bahwa tesis-tesis utama mereka adalah tidak benar dilihat
dari sudut dasar-dasar logika itu sendiri.[10]
Al Ghazali adalah orang yang pertama-tama mendalami
filsafat dan yang sanggup mengeritiknya pula.Hasil peninjauanya dalam filsafat
dibukukanya dalam bukunya Maqasid al falasifah dan tahauf al falasifah.
Menurut al Ghazali banyak sekali berisi kesalahan
filosof-filosof. Mereka tidak bisa mengadakan ketelitian dalam lapangan
ketuhanan, sebagaimana yang telah diadakan oleh mereka dalam lapangan logika, dan oleh karena itu
perbedaan pendapat mereka dalam lapangan tersebut banyak sekali. Diantara tokoh
yunani yang mendekati filosof-filosof islam, seperti yang di nukilkan oleh al
Farabi dan Ibnu sina, ialah Aries toteles. Kesalahan-kesalahan mereka dalam
lapangan tersebut ada 20 soal : Dan dalam tujuh belas soal diantaranya mereka
harus dinyatakan sebagai orang-orang Bidat, sedang dalam tiga soal lebihnya,
mereka dinyatakan sebagai ateis (kafir), karena pikiran-pikiran mereka dalam
tiga soal tersebut berlawanan sama sekali dengan pendirian semua kaum muslimin.[11]
Ketika pernyataan itu menyangkup penolakan terhadap
kebangkitan jasmani, ketidaktahuan tuhan akan hal-hal kecil yang bersifat
khusus dan ajaran mereka tentang keabadian alam semesta. Meskipun yang terpokok
bukanlah tuduhanya bahwa falasifa mengetengahkan pandangan-pandangan yang tidak
islami, tetapi mereka itu berjalan miring dalam mengetengahkan argumen-argumen
mereka.
Alur argumen yang tampak nyata dalam seluruh
sanggahan Ghazali terhadap falasifah adalah penekananya bahwa percaya pada
tuhan adalah sama dengan percaya bahwa keberadaan tuhan itu adalah sangat
begitu berbeda dengan cara keberadaan segala sesuatu dialam dunnia ini. Dia
menegaskan bahwa ada suatu langkah yang mendatangkan kerugian yang sangat
serius didalam teori para filosof, karena didalam teori itu mereka tampaknya
Cuma membolehkan tuhan memegang peran kedua atau peran tambahan didalam
menentukan dan mengatur alam semesta yang abadi yang selalu mereka pertahankan.[12]
Adapun bidang ketuhanan, sebagai yang terdapat dalam
buku Tahafut al falasifat, al Ghazali memandang para filosof sebagai bid’at dan
kafir. Kesalahan para filofof tersebut dalam bidang ketuhanan ada dua puluh
masalah yaitu :
1. Membatalkan
pendapat mereka bahwa alam ini azali
2.
Membatalkan
pendapat mereka bahwa alam ini kekal
3.
Menjelaskan
keragu-raguan mereka bahwa Allah lah pencipta alam semesta dan
sesungguhnya alam ini diciptakanya.
4.
Menjelaskan
kelemahan mereka dalam membuktikan yang maha pencipta
5.
Menjelaskan
kelemahan mereka dalam menetapkan dalil bahwa mustahil adanya dua tuhan
6.
Membatalkan
pendapat mereka bahwa Allah tidak mempunyai sifat.
7.
Membatalkan
pendapat mereka bahwa Allah tidak terbagi ke dalam al jins dan al fash.
8.
Membatalkan
pendapat mereka bahwa Allah mempunyai substansi
basith dan tidak mempunyai mahiyah (hakikat).
9.
Menjelaskan
kelemahan pendapat mereka bahwa Allah tidak berjisim
10. Menjelaskan
pendapat mereka tentang al dahr (kekal dalam arti tidak bermula) dan tidak
berakhir.
11. Menjelaskan
kelemahan pendapat mereka bahwa Allah mengetahui yang selainya.
12. Menjelaskan
kelemahan pendapat mereka bahwa Allah mengetahui zatnya.
13. Membatalkan
pendapat mereka bahwa Allah tidak
mengetahui Zuz’iyat.
14. Menjelaskan
pendapat mereka bahwa planet-planet adalah hewan yang bergerak dengan
kemauanya.
15. Membatalkan
apa yang mereka sebutkan tentang tujuan penggerak dari planet-planet.
16. Membatalkan
pendapat mereka bahwa planet-planet mengetahui semua yang zuz’iyat.
17. Membatalkan
pendapat mereka yang mengatakan bahwa mustahil terjadinya sesuatu diluar hukum
islam.
18. Menjelaskan
pendapat mereka bahwa roh manusia adalah jauhar (substansi)yang berdiri sendiri
tidak mempunyai tubuh.
19. Menjelaskan
pendapat mereka yang menyatakan tentang mustahilnya fana jiwa manusia.
20. Membatalkan
pendapat mereka yang menyatakan bahwa tubuh tidak akan dibangkitkan dan yang
akan menerima kesenangan dalam surga dan kepedihan dalam neraka hanya roh.
Tiga dari dua puluh masalah diatas,
menurut al Ghazali, membuat filosof menjadi kafir yaitu :
1. Alam
dan semua substansi qodim
Pada
umumnya para filosof muslim berpendapat bahwa alam ini kodim, artinya wujud
alam bersamaan dengan wujud Allah. Keterdahuluan Allah dari alam hanya dari
segi zat dan tidak dari segi zaman. Untuk menopang pendapat ini, menuut al
Ghazali, para filosof muslim mengemukakan argumen sebagai berikut :
a. Mustahil
timbulnya yang baharu dari yang Qodim. Proposisi ini berlaku bagi sebab akibat,
dengan arti, jika Allah qodim, maka terjadinya alam merupakan suatu keniscayaan
dan hal ini akan menjadi qodim
kedua-duanya (Allah dan alam). Kalau dikatakan sebelumnya motif belum
lagi ada, mengapa baru ada sekarang tidak sebelumnya ?jika dikatakan kekuasaan
baru ada tidak sebelumnya, bagaimana terjadinya kekuasaan itu. Jika dikatakan
sebelumnya Allah tidak berkehendak (iradat) dan baru kemudian berkehendak itu,
mengapa terjadi kehendak itu, apakah kehendak itu datang dari zatnya atau dari
luar zatnya ?keduanya adalah mustahil
karena Allah tidak mengalami perubahan.
Al
Ghazali menjawab argumen filosof muslim diatas yang ia kemukakan sendiri.
Menurut al Ghazali, tidak ada halangan apapun bagi Allah menciptakan alam sejak
azali dengan iradahnya yang qodim pada waktu diadakanya. Sementara itu,
ketiadaan wujud alam sebelumnya karena memang belum dikehendakinya. Iradah,
menurut al ghazali, adalah suatu sifat bagi Allah yang berfungsi membedakan
sesuatu dari lainya yang sama. Jika tidak demikian fungsinya, tentu bagi Allah
cukup saja dengan sifat kudrat. Akan tetapi, karena sifat kudrat antara
mencipta dan tidaknya sama kedudukanya, harus ada suatu sifat khusus yang
membedakanya, yaitu iradat.
b. Keterdahuluan
wujud Allah dari alam hanya dari segi esensi (taqodum zati), sedangkan dari
segi zaman (taqodum zamani) antara keduanya adalah sama. Hal ini sama seperti
keterdahuluan bilangan satu dari dua, atau keterdahuluan gerakan tangan dari
cincin. Kedua jenis ini serupa tingkatanya dalam zaman. Jika demikian keadaan
antara Allah dan alam, harus keduanya
qodim dan yang lainya baharu.
Al
Ghazali menjawab argumen diatas.Menurutnya, memang wujud Allah lebih alam dan
zaman.Zaman baharu dan diciptakan.Sebelum zaman diciptakan tidak ada
zaman.Pertama kali ada Allah, kemudian ada alam karena diciptakan Allah.Jadi,
dalam keadaan pertama kita bayangkan adanya Allah saja, dan dalam keadaan yang
ke dua kita bayangkan ada dua esensi, yakni Allah dan alam.
c. Alam
sebelum wujudnya merupakan suatu yang mungkin. Kemungkinan ini tidak ada
awalnya, dengan arti selalu abadi.
Al
Ghazali menjawab filosof para filosof yang ia kemukakan tersebut. Menurutnya
alam ini senantiasa mungkin terjadinya, dan setiap saat dapat digambarkan
terjadinya. Jika dikatakan bahwa alam ini ada selamanya (qodim) tentu ia tidak
baharu.
2. Tuhan
tidak mengetahui yang juz’iyat yang terjadi dialam
Para
filosof muslim, al Ghazali berpendapat bahwa Allah hanya mengetahui zatnya dan
tidak mengetahui yang selainya. Ibnu sina mengatakan bahwa Allah mengetahui
segala sesuatu dengan ilmunya yang kulli. Alasan para filosof muslim, Allah
tidak mengetahui yang juz’iyat, bahwa dialam ini selalu terjadi
perubahan-perubahan, jika Allah mengetahui rincian perubahan tersebut, hal itu
akan membawa pada perubahan kepada zatnya. Perubaha pada objek ilmu akan
membawa perubahan pada yang punya ilmu (bertambah atau berkurang). Ini mustahil
terjadi pada Allah.
Pendapat
para filosof muslim yang dikemukakan al Ghazali diatas dijawabnya sendiri.
Menurutnya, pendapat para filosof itu merupakan kesalahan fatal.Menurut al
Ghazali lebih lanjut, perubahan pada objek ilmu tidak membawa perubahan pada
ilmu.Karena ilmu merupakan idofah (sesuatu rangkaian yang berhubungan dengan
dzat).Jika ilmu berubah tidak membawa perubahan pada dzat, dengan arti keadaan
orang yang mempunyai ilmu tidak berubah. Lebi lanjut al Ghazali mengemukakan
ilustrasi, bila seseorang berada disebelah kanan anda, lalu berpindah ke sebelah
kiri, kemudian berpindah ke depan atau ke belakang, maka yang berubah adalah
dia bukan anda. Demikian pula ilmu Allah. Ia mengetahui segala sesuatu dengan
ilmunya yang satu semenjak azali dan
tidak berubah meskipun alam yang diketahuinya itu mengalami perubahan.
3. Kebangkitan
jasmani di akherat
Menurut
para filosof muslim, yang akan dibangkitkan di akherat nanti adalah rohani
saja, sedangkan jasmani akan hancur. Jadi, yang akan merasakan kebahagiaan atau
kepedihan adalah rohani saja. Kendatipun ada gambaran dari agama berupa materi
di akherat, seperti surga dan neraka, semua itu pada dasarnya symbol-simbol
untuk memudahkan pemahaman orang awam. Padahal, di akherat telalu suci dari apa
yang digambarkan dari orang awam.
Al
Ghazali dalam menyanggah pendapat para filosof muslim lebih banyak bersandar
pada arti tekstual al Qur’an. Menurut al Ghazali, tidak ada alasan untuk
menolak adanya kebahagiaan atau kesengsaraan fisik dan rohani secara bersamaan.
Allah berfirman yang artinya : “Tidak seornag pun mengetahui apa yang
disembunyikan untuk mereka yang menyedapkan pandangan mata”. Demikian pula
firmanya : “Aku sediakan bagi hambaku yang saleh, apa yang tidak terlihat oleh
mata, tidak terdengar oleh telinga, dan tidak tergores dalam hati manusia.”
Janji-janji Allah yang maha sempurna, perpaduan diantara kedua hal (jasmani dan
rohani) adalah yang paling sempurna dan mesti mungkin.Karenanya wajib
membenarkan kemungkinan ini sesuai dengan agama.[13]
Dalam
hal tersebut imam al Ghazali menilik masalah tersebut dengan kacamata agama,
syara’, dan ilham, bukan dengan logika dan akal melainkan yang ia kemukakan
tersebut ialah melalui sumber yakni al Qur’an.[14]
F. Pemikiran al Ghazali tentang epistemologi
Dalam sejarah filsafat telah muncul pada masa Yunani
Kumo. Kaum sophis pada abad kelima sebelum Masehi telah “mempersoalkan:
seberapa jauh pengetahuan kia mengenai realitas benar-benar merupakan kenyataan
obyektif budi manusia? Apakah kita mempunyai pengetahuan mengenai realitas
sebagaimana adanya?”
Berkaitan dengan persoalan tersebut, Gorgias, salah
seorang tokoh kaum shopis terkemuka, menyatakan bahwa tidak ada sesuatu pun
yang di sebut realitas.Seandanya ada, kita tidak dapat mengetahuinya, kita
tidak dapat mengkomunikasikan pengetahuan itu.pandangan seperti itu dalam
khasanah filsafat dikenal sebagai “skeptisisme”.
Al-ghazali juga seorang yang mempunyai sikap
skeptis, bahkan sejak ketika ia masih sangat muda. Namun demikian, skeptisisme
al-ghazali bukanlah skeptisisme model gorgias.Skeptisisme al-ghazali lebih meneyrupi
skeptisisme yang ada pada Rene Descartes, yakni skeptisisme metodis. Dalam
skeptisisme metodis ini keraguan melulu dipakai sebagai sarana untuk memperoleh
pengetahuan tentang realitas, pengetahuan tentang segala sesuatu sebagaimana
adanya yang di sebut sebagai al-‘alim al-yakini, suatu pengetahuan yang
pasti yang didefinisikannya sebagai “pengetahuan yang di dalamnya hal yang
diketahui menjadi sedemikian nyata sehingga tak ada keraguan yang melekat
padanya, tidak pula disertai oleh kemungkinan kesalahan atau kepalsuann, dan
bahkan pikiranpun tak dapat menduga adanya kemungkinan seperti itu”. maka dalam
pemikiran epistimologimya, al-ghazali memberikan kedudukan yang tinggi pada
akal sebagai sumber pengetahuan.[15]
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah Amin, Studi
Agama, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1996.
Daudy
Ahmad, Segi-segi pemikiran falsafi dalam islam, Bulan bintang, jakarta,
1984.
Hanafi
Ahmad, Pengantar filsafat islam, Bulan bintang, jakarta 1990.
Leaman
Oliver, Pengantar filsafat islam, Rajawali perss, jakarta 1989.
Nata
Abuddin, Pemikiran para tokoh pendidikan islam, Raja grafindo persada,
Jakarta, 2003.
Nasution Harun, Falsafat
dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1995.
Sholihan, Pernik-pernik pemikiran
islam dari al Farabi sampai al Faruqi, Walisongo press, semarang, 2010.
Zar
Sirajuddin, Filsafat Islam, Raja grafindo persada, jakarta 2010.
[1] Ahmad hanafi, Pengantar filsafat islam, Bulan bintang, jakarta 1990,
hlm : 135
[3] Ahmad hanafi, Pengantar filsafat islam, Bulan bintang, jakarta 1990,
hlm : 135
[4]Sirajuddin Zar, Filsafat Islam, Raja grafindo
persada, jakarta 2010, hlm : 158
[5]Abuddin Nata, Pemikiran para tokoh pendidikan
islam, Raja grafindo persada, Jakarta, 2003, hlm : 85
[6]Thawil Akhyar Dasoeki, Sebuah Kompilasi Filsafat Islam,Semarang:
CV Toha Putra, 1993, hlm: 62
[7] Ahmad hanafi, Pengantar filsafat islam, Bulan bintang, jakarta 1990,
hlm : 136
[10]Oliver Leaman, Pengantar filsafat islam,
Rajawali perss, jakarta 1989, hlm : 53-54
[11] Ahmad hanafi, Pengantar filsafat islam, Bulan bintang, jakarta 1990,
hlm : 143-144
[12]Oliver Leaman, Pengantar filsafat islam,
Rajawali perss, jakarta 1989, hlm : 55
[13]Sirajuddin Zar, Filsafat Islam, Raja grafindo
persada, jakarta 2010, hlm : 161-172
[14]Ahmad Daudy, Segi-segi pemikiran falsafi dalam
islam, Bulan bintang, jakarta, 1984, hlm : 67
[15]Sholihan, Pernak-pernik Pemikiran
Islam dari Al-Farabi sampai Al-Faruqi, Walisongo Press: Semarang, 2010,
hlm: 57-63
Tidak ada komentar:
Posting Komentar